12Mar
Contoh Startup Gagal di Asia Dan Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Mereka
Contoh Startup Gagal – 2015 merupakan tahun yang menggairahkan bagi beberapa startup di Asia. Pendanaan venture capital mengalir ke beberapa negara seperti China, India, dan Korea Selatan dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya. Asia Tenggara membukukan rekor exit terbesar dengan diakuisisinya iProperty Group sebesar $534 juta (sekitar Rp7,3 triliun).
Namun penggalangan tahap pendanaan yang sangat besar bukan jaminan kesuksesan di masa mendatang. Sudah menjadi risiko umum dalam berbisnis bahwa sebagian perusahaan akan keluar sebagai pemenang, sedangkan perusahaan lain keluar sebagai pecundang.Berikut adalah 20 startup dari Asia yang terpaksa gulung tikar tahun ini.
Mereka dikelompokkan berdasarkan asal negaranya, tanpa urutan. Mereka masuk dalam daftar ini karena ada hal yang bisa dipelajari dari kisahnya masing-masing.
Cina
Melotic
Melotic merupakan tempat penukar aset digital berbasis bitcoin. Tujuan mereka adalah memfasilitasi penukaran antara mata uang digital alternatif dengan koin dari aplikasi tertentu. Startup ini awalnya bermarkas di Hong Kong.
Startup ini baru saja mendapatkan pendanaan tahap awal sebesar $1,18 juta (sekitar Rp16,2 miliar) pada bulan Oktober 2014, dari beberapa investor, termasuk 500 Startup. Sayangnya, jumlah tersebut belum cukup untuk membangun produk yang sesuai dengan keinginan konsumen. Pada Mei 2015, mereka menyerah dan mengatakan “Tidak mengalami pertumbuhan cukup untuk menutup biaya pengembangan, perawatan, dan dukungan.”
Berhenti Beroperasi
Exiche
Pada tahun 2015, Cina memastikan bukan hanya satu, tapi tujuh penyedia layanan cuci mobil on-demand yang gulung tikar. Ya, kita tak salah membaca. Dalam ceruk bisnis yang begitu spesifik seperti cuci mobil, ada banyak pemain yang berusaha untuk menjadi pemimpin. Seperti itulah mengguritanya ekosistem startup di negara itu.
Nampaknya, untuk saat ini, salah satu perusahaan yaitu Guagua Xiche keluar sebagai pemenang. Sementara eXiche mungkin adalah perusahaan dengan kegagalan paling besar di antara semuanya. eXiche mendapatkan pendanaan Seri A senilai $20 juta (sekitar Rp274 miliar) pada bulan Maret dan menghentikan layanan mereka pada bulan Oktober. Halaman utama web mereka mengklaim kalau mereka sedang melakukan restrukturisasi, bukan mati.
Dalam ketatnya kompetisi ini, nampaknya banyak layanan cuci mobil yang menghambur-hamburkan uang dengan menawarkan promosi murah. Satu hal yang perlu diingat adalah cuci mobil sendiri harganya memang murah. Model bisnis seperti itu biasanya tidak berumur panjang.
India
India
DoneByNone (Netcraft Retail Solutions)
Walaupun tahun 2015 termasuk paling menguntungkan bagi para pelaku e-commerce di India, beberapa startup tetap tak mampu bertahan. Salah satunya adalah Gurgaon, situs penyedia busana wanita milik DoneByNone.
Mereka dilaporkan mengalami masalah dengan kepuasan pelanggan di penghujung tahun 2014, setelah kejadian itu, salah satu pendiri mereka keluar. Pada awal 2015, web Gurgaon hilang dari peredaran.
Mereka dilaporkan mengalami masalah dengan kepuasan pelanggan di penghujung tahun 2014, setelah kejadian itu, salah satu pendiri mereka keluar. Pada awal 2015, web Gurgaon hilang dari peredaran.
Lumos
Lumos, startup dengan spesialisasi smart home, didirikan oleh para pebisnis pemula yang baru saja menyelesaikan bangku kuliah. Membangun startup di bidang perangkat keras ternyata lebih sulit dari yang mereka kira.
“Kami menganggap enteng membuat produk berupa perangkat keras yang siap dipasarkan. Kami salah memperhitungkan permintaan dan kegunaan produk kami,” tulis salah satu pendiri Lumos dalam uraian panjang di sebuah blog.
Mereka sudah berbaik hati mendokumentasikan proses pengambilan keputusan mereka beserta akibatnya dengat sangat rinci. Tulisan tersebut sangat bermanfaat bagi mereka yang berniat membuat produk perangkat keras.
TalentPad
Terlepas dari mendapatkan seed funding pada Oktober 2014 dan pernah mengakuisisi sesama platform pencari kerja, TalentPad “selesai” kurang dari setahun kemudian.
Situs ini merupakan layanan rekrutmen online yang unik. Para perusahaan berkompetisi untuk mencari calon pekerja terbaik.
“Kami gagal memperhitungkan bisnis scalable untuk pasar yang cukup besar,” ujar tim TalentPad dalam sebuah catatan buat para penggunanya.
Dazo
Bisnis layanan pesan antar makanan di India mendapat tamparan keras tahun ini. Beberapa perusahaan berhasil mendapatkan investasi dan tumbuh semakin besar, sedangkan yang lainnya gagal bertahan.
Di antara mereka yang gagal bertahan adalah Dazo. Menurut laporan, Dazo merupakan layanan pesan antar makanan berbasis aplikasi pertama di India. Mereka telah menarik seed funding dari investor terkemuka seperti eksekutif Google dan Amazon.
Inc42, dalam artikel yang menganalisa tumbangnya startup-startup pesan antar makanan di India, menulis:
Inc42, dalam artikel yang menganalisa tumbangnya startup-startup pesan antar makanan di India, menulis:
Baca Juga : Rintangan Mahasiswa Membangun Startup
Pesatnya pertumbuhan (startup pesan antar makanan) juga menunjukkan bahwa perusahaan yang mendapat pendanaan cenderung menghamburkan uang untuk mendapatkan pelanggan tanpa menciptakan diferensiasi produk dari kompetitor sejenis.
Valyo Tech menjalankan beberapa situs e-commerce barang-barang mewah, situs untuk tas, situs untuk perhiasan, situs untuk jam tangan, serta situs untuk kacamata dan lensa kontak. Menurut laporan pada awal 2014, mereka mempertimbangkan untuk untuk menjual semua situs kecuali Lenskart, situs khusus kaca mata dan lensa kontak, untuk fokus terhadap situs yang memberi pemasukan paling banyak.
Butuh waktu hingga awal tahun 2015 untuk merealisasikannya. Valyoo Tech berhasil memperoleh pendanaan untuk LensKart, namun mematikan tiga situs lainnya yang nampaknya tak mampu menggaet konsumen.
Indonesia
Kleora
Menurut pendiri Kleora, marketplace ini belum mati. Namun brand tersebut beserta webnya telah berhenti beroperasi. Alasannya, mereka merasa branding produk wanita mereka jadi terlalu terbatas. Juga, backend dan fitur platformnya juga perlu diperbaiki secara menyeluruh.
Mereka membuat perubahan drastis dan, dengan tim yang sama meluncurkan, produk baru bernama Prelo, marketplace yang fokus pada barang-barang bermerek bekas.
Beauty Treats
Beauty Treats mulai dengan model bisnis berlangganan “kotak cantik,” atau kotak berisi peralatan kosmetik, secara bulanan—mirip seperti Lolabox yang gagal pada tahun 2014. Pada tahun 2013, Beauty Treats melakukan pivot, agar tidak bernasib seperti Lolabox. Namun hal itu ternyata tidak berhasil.
Pada awal tahun ini, Daily Social melaporkan bahwa situs mereka telah berhenti beroperasi. Saat ini, salah satu pendirinya, Romeo Reijman, mencoba membangun startup pegadaian daring bernama Pinjam.
Abraresto/ Abratable
Abratable dan Abraresto adalah situs pemesanan dan ulasan restoran yang beroperasi di Singapura serta Indonesia. Startup ini gagal karena mereka membuat beberapa keputusan yang berisiko, termasuk menerima investasi dalam bentuk utang, bukan venture capital. Mereka gagal menggalang pendanaan lanjutan di waktu yang tepat sehingga tak bisa bertahan.
Alikolo
Situs e-commerce Alikolo diciptakan oleh Danny Taniwan, seorang pebisnis pemula asal Medan. Ia menganggap kurangnya pengalaman sebagai sumber kegagalannya. Ia juga melakukan kesalahan fatal dengan menyerahkan mayoritas saham pada angel investor, yang bahkan tak lebih berpengalaman dari dirinya.
Sejak saat itu Danny telah beralih untuk menciptakan platform e-commerce terbaru yang saat ini belum diluncurkan.
Valadoo
Valadoo merupakan situs penyedia paket wisata untuk destinasi di Indonesia. Mereka menutup layanannya pada Mei 2015. Pendirinya mengatakan, Valadoo membuat kesalahan besar dengan terlalu fokus pada pertumbuhan pengguna, dan mengabaikan perlunya membangun model bisnis jangka panjang untuk produknya.
Setelah itu, merger dengan perusahaan lain malah berbuah masalah yang secara teknis lebih pelik dari yang mereka kira. Pada akhirnya merger tersebut berujung kebangkrutan bagi Valadoo. Mereka kehabisan dana dan tak mampu untuk menggalang tahap pendanaan baru selama fase transformasinya.
Paraplou
Pada bulan Oktober, salah satu pemain e-commerce Indonesia yang lebih dulu didirikan, Paraplou, nampaknya harus ditutup. Perusahaan ini menampilkan ucapan perpisahan di halaman utama web mereka dengan menyebut pasar yang belum terbentuk, kondisi keuangan tak menentu, dan sulitnya mendapatkan pendanaan sebagai alasan utama mereka gulung tikar.
Situs yang termasuk ke dalam anak perusahaan Paraplou Group ini masih bisa diakses, namun saat ini situs utamanya dihentikan sementara. Paraplou dipimpin oleh dua mantan CEO Rocket Internet yang pernah bekerja di Lazada Indonesia.
Kirim
Belum lama ini, kami menyadari Kirim diam-diam berhenti beroperasi. Layanan jasa antar barang ini mengklaim telah beroperasi selama tujuh tahun. Mereka tak menyebutkan alasan di balik keputusan menutup layanan.
Kemungkinan, ekspansi bisnis transportasi dengan pendanaan yang lebih mantap—semacam GO-JEK dan GrabBike—ke layanan yang sama telah membuat pemain baru seperti Kirim mustahil untuk bertahan.
Israel
Israel
Everything.me
Everything.me merupakan salah satu kegagalan yang dikenal luas di benua Asia tahun ini. Mereka membuat aplikasi yang dapat menambahkan contextual features untuk smartphone Android.
Meski termasuk salah satu startup dengan pendanaan tertinggi, yaitu sebesar $35 juta (sekitar Rp480 miliar), dan menyatakan aplikasinya telah diunduh hingga 15 juta kali startup ini memutuskan berhenti akhir Oktober. Mereka mengatakan “tak mampu untuk menemukan model bisnis yang cocok” untuk aplikasi gratis mereka.
Singapura
KotaGames
Di Singapura, KotaGames, situs game berbasis web, menutup layanannya pada bulan Maret. Mereka mulai beroperasi sekitar tahun 2008. Kemungkinan kesalahan mereka adalah menggantungkan pendapatan pada feature phone. TMG, induk perusahaan KotaGames, nampaknya gagal menyesuaikan model bisnisnya dengan pesatnya pertumbuhan gaming di smartphone.
Lamido
Lamido merupakan bagian dari kelompok perusahaan Rocket Internet yang menjangkau wilayah Asia Tenggara. Sejatinya, perusahaan yang bermarkas di Singapura ini merupakan marketplace e-commerce.
Namun mereka tak begitu berhasil dan harus berhadapan dengan kompetitor lokal yang lebih kuat. Terlebih, Lazada, yang juga bagian dari Rocket Internet, telah mengadopsi beberapa fitur marketplace.
Menurut CEO Lazada Group, Maximilian Bittner, Lamido bukannya bubar, namun merger dengan Lazada.
“Dengan pesatnya pertumbuhan marketplace Lazada dan Lamido, kami merasa ada kesamaan yang semakin meningkat antara basis pembeli dan penjual di antara kedua platform itu. Mengingat banyaknya kesamaan antara merek Lazada dan Lamido, jadi merupakan langkah yang lazim jika kami menggabungkan layanan keduanya,” ujarnya.
Superdeals
Awal tahun ini, operator telekomunikasi Singapura, SingTel menutup situs yang menawarkan promosi harian milik mereka, Superdeals. Mungkin hal ini tak mengejutkan, karena model bisnis seperti itu mengalami kerugian yang sangat banyak di seluruh dunia. Beberapa tahun yang lalu, Groupon berada di garis depan pesatnya pertumbuhan startup serupa, namun akhirnya tidak mampu menarik jumlah pengguna sesuai target.
Molome
Penduduk Asia terobsesi berfoto selfie dan menampikannya secara online. Molome ingin menjadi aplikasi yang membuat sebuah foto jadi lebih lucu dengan menambahkan semacam stiker dan teks pada foto aslinya.
Pendirinya bergabung dengan program akselarator JFDI pada tahun 2014 dan pada saat yang sama mengklaim telah memiliki 40 ribu pengguna harian yang mengunggah lebih dari 15 ribu foto setiap harinya.
Pendirinya bergabung dengan program akselarator JFDI pada tahun 2014 dan pada saat yang sama mengklaim telah memiliki 40 ribu pengguna harian yang mengunggah lebih dari 15 ribu foto setiap harinya.
Namun semua itu belum cukup untuk bersaing dengan aplikasi berbagi foto seperti Instagram dan Snapchat. Pada pertengahan November, pendirinya memutuskan untuk membubarkan layanan Molome. Pesan perpisahan di situsnya tertulis:
Dengan berat hati kami menginformasikan bahwa Molo memutuskan untuk hibernasi mulai musim dingin ini. Membuat aplikasi berbagi foto tidak murah, dan tanpa pendanaan kami tak mampu meneruskan perjalanan kami.
Vietnam
Beyeu
Di Vietnam, bubarnya Beyeu, situs e-commerce untuk perlengkapan bayi, menimbulkan kesan pesimis. Perusahaan itu didukung oleh Project Lana, perusahaan internet terkemuka di Vietnam yang menjalankan komunitas daring untuk wanita.
Kemungkinan, hal yang membuat Beyeu gulung tikar adalah kompetisi yang ketat atau kurangnya pengalaman sang pendiri dengan e-commerce.
Apapun alasannya, tentu ini adalah keputusan yang pahit bagi tim Beyeu. Mereka dilaporkan meninggalkan pesan di situsnya tepat setelah menutup layanannya:
Membangun e-commerce membutuhkan uang yang tak sedikit. Banyak perusahaan yang nantinya akan berhenti “membakar” uang. Untuk kalian yang masih bertahan, semoga beruntung.
Namun catatan itu kini sudah tak ada. Halaman utama mereka kini kosong.