13Mar
Seputar Ekosistem Startup di Indonesia
Ekosistem Startup di Indonesia – Indonesia tengah menjadi sorotan para penggiat startup dan teknologi di Asia. Dengan total penduduk 260 juta dan rata-rata usia 28 tahun, penetrasi mobile di tanah air mencapai 110 persen. Pendapatan per kapita yang diprediksi mencapai US$5700 (sekitar Rp76 juta) di tahun 2021 juga mendorong minat belanja online dari 11 juta menjadi 42 juta orang. Kombinasi antara penduduk usia muda, kelas sosial, dan penetrasi mobile sebenarnya cukup umum di Asia.
Namun, potensi bisnis di Indonesia sendiri diakui oleh banyak organisasi luar negeri. PurpleCow Startup Association, sebuah organisasi nirlaba yang menghubungkan startup Taiwan dengan ekosistem startup luar negeri, bahkan membawa lima startup asal Taiwan untuk mempresentasikan diri di hadapan investor Indonesia. Harapannya adalah bisa menarik minat investor, meraih pre-seed funding, serta bekerja sama dengan pemain lokal.
Ditunjuk sebagai negara rujukan pasar bagi pelaku startup, seperti apa sebenarnya ekosistem startup di Indonesia saat ini?
Meningkatnya investasi dari Cina
Nominal investasi yang masuk ke Indonesia dari tahun 2012 meningkat dari US$44 juta (sekitar Rp584 miliar) menjadi US$3 miliar (sekitar Rp40 triliun) pada tahun 2017. Menariknya, nominal yang besar ini dikantongi oleh startup yang telah mendapat investasi di atas Seri A. Hasilnya, hanya sekitar lima belas persen yang masuk ke startup tahap awal (seed dan seri A). Sebanyak 94 persen dari investasi tersebut datang dari investor Cina seperti Tencent untuk GO-JEK, Alibaba untuk Tokopedia, serta JD untuk GO-JEK dan Traveloka.
Dari sisi vertikal industri, e-commerce dan layanan on-demand menguasai total investasi yang masuk. Hengky Prihatna, Country Industry Head Google Indonesia, memprediksi situasi tersebut akan berubah, startup unicorn memang akan tetap mendapat pendanaan namun investor akan mulai beralih ke vertikal lain, seperti fintech dan SaaS.
Potensi jadi pasar e-commerce besar di Asia
Menurut Spire Research Consulting, dengan total 75 juta pengguna smartphone dan akses internet rata-rata tiga jam sehari serta tingkat Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 25,74 persen selama empat tahun terakhir, Indonesia diprediksi menjadi pasar e-commerce besar selanjutnya. Riset tersebut juga menunjukkan total online shopper di Indonesia mencapai 8,7 juta yang terbagi menjadi empat tipe perilaku konsumen.
Sebanyak 44 persen mencari dan membeli produk secara online, 51 persen mencari produk secara online dan membeli langsung di gerai, 17 persen mengunjungi toko terlebih dahulu kemudian membeli secara online serta 32 persen melakukan pencarian online, mengunjungi toko lalu membeli secara online.
Perilaku konsumen tersebut juga membawa pasar Indonesia pada tren e-commerce O2O. Istilah O2O (Online to Offline) ini menggambarkan berbagai layanan e-commerce yang menyediakan informasi, layanan atau diskon secara online kepada konsumen untuk meningkatkan pengalaman belanja secara offline. Dengan kata lain, O2O adalah kombinasi antara online dan offline. Beberapa startup yang telah menerapkan O2O ini adalah MatahariMall, Kudo, dan Groupon.
Untuk menjadi pasar e-commerce yang besar, Menkominfo Rudiantara merasa Indonesia perlu segera melakukan transformasi sistem logistik agar pergerakan barang menjadi lebih mudah dan efisien. Sistem pembayaran pun harus menjadi bagian dari upaya pengembangan e-commerce di tanah air.
Ruang baru bagi industri fintech
Selain e-commerce, Indonesia punya vertikal lain yang tengah naik daun: financial technology alias fintech. Hingga tahun 2016, sekitar 142 startup fintech sudah beroperasi di Indonesia.
Mengacu pada tingkat kepemilikan rekening bank terutama bagi UKM, jasa peer-to-peer lending (P2P lending) disebut-sebut sebagai yang banyak dilirik. Sebuah laporan tahun 2016 dari International Finance Corporation menyatakan, pasar UKM Indonesia tumbuh cepat. Permintaan kredit dari UKM saja mencapai sekitar US$6 miliar (sekitar Rp80 triliun), sehingga ruang bagi startup yang melayani pinjaman dan kredit terbuka lebar.
Mengacu pada tingkat kepemilikan rekening bank terutama bagi UKM, jasa peer-to-peer lending (P2P lending) disebut-sebut sebagai yang banyak dilirik. Sebuah laporan tahun 2016 dari International Finance Corporation menyatakan, pasar UKM Indonesia tumbuh cepat. Permintaan kredit dari UKM saja mencapai sekitar US$6 miliar (sekitar Rp80 triliun), sehingga ruang bagi startup yang melayani pinjaman dan kredit terbuka lebar.
Akhir tahun 2016, Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan aturan terkait bisnis P2P lending. Salah satunya adalah kepemilikan saham asing maksimal 85 persen serta kepemilikan modal minimal Rp1 miliar saat pendaftaran. Aturan ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan rancangan aturan yang dikeluarkan beberapa waktu sebelumnya.
OJK juga menerapkan pendekatan regulatory sandbox bagi perusahaan yang ingin menguji layanannya kepada konsumen. Dengan pendekatan ini, diharapkan pelaku fintech memiliki ruang yang lebih luas untuk bereksperimen sebelum produk layanan tersebut dilempar ke pasaran. Regulatory sandbox ini bahkan dinilai penting oleh Bank Dunia demi memastikan inovasi yang aman, nyaman serta efisien untuk bertransaksi secara digital.
Tidak ingin ketinggalan update seputar startup?
Tren seputar startup dan teknologi terus berkembang. Jadilah yang pertama mengetahui tren dan prediksi seputar ekosistem startup di Indonesia lewat helatan akbar Tech in Asia Jakarta 2017.
Di tahun ini, kamu akan disuguhi dengan tujuh Content Stage bersama ratusan pakar terbaik di bidang startup dan teknologi. Yuk, gabung dengan 6.000 pengunjung lainnya melalui tautan di bawah ini. Gunakan kode ‘tiajkt10’ saat pembelian tiket dan dapatkan diskon 10 persen!