Sekitar 5-6 tahun lalu, istilah “startup” mulai banyak diperbincangkan. Di kalangan muda, istilah tersebut menjadi lebih populer ketimbang “entrepreneur“. Banyak sekali orang yang antusias dengan dunia startup dan berkeinginan mendirikan startup-nya sendiri, karena terinspirasi pemain yang telah berhasil menoreh sukses.

Istilah startup sendiri muncul ketika teknologi mulai mengambil peran penting dalam sebuah sistem bisnis. Kendati tidak serta-merta, startup banyak merujuk pada bisnis digital yang berupaya menciptakan disrupsi dengan menyuguhkan solusi penyelesaian masalah yang lebih efektif. Lantas, sudah sampai mana perkembangannya sampai saat ini?
DailySocial mencoba menggali insight dari salah satu investor yang cukup berpengalaman dalam bisnis startup, Kevin Darmawan. Ia adalah Founder & Managing Partner Coffee Ventures, spesialisasinya pada early stage startup. Mengawali perbincangan, Kevin menyampaikan pendapatnya bahwa gerakan yang cenderung melambat di lanskap startup saat ini merupakan proses yang sangat wajar.
“Kesuksesan startup yang ada kala itu cukup membuka mata banyak orang. Semua menjadi berpikir membuat perusahaan menggunakan teknologi menjadi solusi keren. Maka banyak orang dengan berbagai latar belakang mencoba masuk ke sana, dengan kapasitas yang belum mumpuni. Sekarang kondisinya berbeda, orang jadi lebih tahu tentang model bisnis dan kondisi yang sebenarnya. Jika diibaratkan perang, sekarang senjatanya jauh lebih siap,” ujar Kevin menerangkan mengapa hypestartup terlihat lebih turun dibandingkan awal tren tersebut muncul.
Kevin menjelaskan, perubahan tersebut juga terjadi di kalangan investor. Di awal mungkin banyak investor yang berpikir, investasi di startup nilai dan perputarannya uang kecil. Namun dua tahun terakhir anggapan tersebut cukup terpatahkan, pasalnya investasi di startup juga mampu menghasilkan Return of Investment (ROI) besar. Di Indonesia sendiri investor dari berbagai tempat mulai hadir. Startup mulai diinvestasi dengan nilai yang besar dan dampak yang paling terasa adalah dinamika pasar yang cukup tergoncang.
Terkait melambatnya pertumbuhan startup yang mungkin mulai dirasakan dari dua tahun terakhir Kevin justru beranggapan bahwa itu adalah sebuah proses “seleksi alam” yang baik. Dari sana akan terlihat mana startup yang mau belajar memperbaiki diri dan mana juga yang bisa bertahan dengan persaingan yang semakin ketat.

Proses yang seharusnya di tahap awal

Menurut Kevin, proses eksperimen di startup adalah hal yang tidak bisa dihindari. Misalnya ide awal A harus berubah ke ide B sebagai hasil pivot setelah diuji coba ke konsumen. Yang perlu diperhatikan adalah proses eksperimen tersebut juga harus efektif. Founder harus jeli, bagaimana membuat proses tersebut menjadi lebih cepat dan semurah mungkin.
Ketika harus gagal, setidaknya masih ada energi tersisa untuk memperbaiki diri. Faktanya kebanyakan pelaku startup yang sudah sukses melalui fase awalnya dengan proses eksperimen yang tidak sedikit.
Ada dua permasalahan utama yang sering ditemui pada pemikiran founder di startup tahap awal oleh Kevin. Pertama ialah seputar ide dan asumsinya. Kebanyakan founder berpikir, bahwa ide yang ia temukan terkait permasalahan tertentu memiliki market size yang besar. Kadang mereka lupa untuk memvalidasi melalui riset yang lebih mendalam. Ketika waktu, investasi, dan tenaga sudah terserap banyak, mereka baru menyadari bahwa pasar tidak menginginkan solusi yang ditawarkan.
Yang kedua adalah soal SDM. Hal ini masih berkaitan dengan permasalahan pertama—bahwa kebanyakan dari founder memiliki mindset semua harus cepat. Yang disebut eksperimen, menurut Kevin, harus dilalui dengan sabar, karena yang sebenarnya dipelajari founder dari proses tersebut adalah “detail”.
“Semua pikirannya mau growth hack, growth hack, dan growth hack. Tapi namanya eksperimen harus sabar mempelajari setiap detail, karena dalam startup masing-masing ada ilmunya yang harus dipelajari satu-satu, dari buat produk sampai pemasaran. Harus mendalami eksperimen,” lanjut Kevin.

Banyak masalah yang bisa digali sebagai sumber ide

Salah satu keuntungan tinggal di Indonesia adalah bisa ditemukan banyak permasalahan yang unik. Bahkan tiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kevin mencontohkan kebutuhan di Jakarta saja juga berbeda-beda. Katakanlah antara Jakarta Selatan dan Jakarta Utara, dengan pangsa pasar yang heterogen seperti ini, idealnya inovasi bisa ditempatkan secara lebih tepat.
Hal ini menjadi kesempatan besar, karena pada hakikatnya startup di tahap awal fokusnya memang harus pada penyelesaian masalah. Namun demikian ada hal yang sering disepelekan, yakni untuk fokus pada satu titik ide yang sudah tervalidasi di awal.
“Kalau startup identik dengan tim yang masih kecil, dana terbatas, waktu terbatas, sumber daya terbatas, oleh karena itu mereka harus fokus. Jika mereka tidak fokus –misalnya mencoba menyelesaikan dua atau tiga masalah—maka mereka akan selalu mencoba untuk memecahkan semua masalah, ujung-ujungnya malah jadi nothing,” imbuh Kevin.
Startup perlu menemukan spesialisasinya. Di fase awal ini kepercayaan menjadi penting. Kepercayaan tersebut yang akan membentuk brandimagestartup itu sendiri. Pun ketika melakukan pitching, yang disuguhkan pertama adalah apa yang mau diselesaikan, bukan medium teknologi yang akan disuguhkan sebagai produk.
“Analoginya seperti ini tentang fokus. Katakanlah kita punya bensin satu liter, tapi kita tidak tahu mau ke mana kita pergi, maka kita tidak akan sampai ke mana-mana. Beda saat kita memutuskan untuk mencari jalan terdekat mencari pom bensin, di sana kita bisa mengisi lebih banyak dan bisa pergi lebih jauh. Startup juga seperti itu, keterbatasan di awal harus dimaksimalkan seefektif mungkin,” ujar Kevin.