23Mar
Agar startup berkembang, umumnya butuh sokongan kapital untuk membantu melancarkan eskalasi. Startup bisa mengandalkannya dari perputaran uang secara organik ataupun anorganik. Akan tetapi, ketika ingin mencoba cara anorganik artinya perlu mencari investor yang tepat, tak sekadar mengincar uangnya saja.
Kapan saat yang tepat mencari investor? Menurut CEO MerahPutih Incubator & Investment Partner GDP Venture Antonny Liem, jawaban yang tepat adalah saat startup sedang tidak butuh uang. Dalam #SelasaStartup edisi (30/1), Antonny hadir dan memberikan tips apa saja yang sebenarnya dalam pikiran investor untuk diketahui dan dipersiapkan sebelum bertemu dengan mereka.
Tipe investor
Antonny menerangkan satu per satu jenis investor. Pertama adalah angel investor. Menurutnya, angel investor adalah orang yang paling “mudah percaya” kepada founder. Maka dari itu biasanya mereka cenderung investasi ke diri founder itu sendiri, bukan ke perusahaannya. Biasanya besaran suntikan yang mereka berikan berkisar antara US$50 ribu sampai US$100 ribu.
Kedua, ada venture capital. Mereka memiliki fund manager yang mengelola uang dari investor yang sudah dikumpulkan. Karena berinvestasi di startup berisiko tinggi, umumnya VC juga mengejar imbal hasil yang tinggi antara 4 sampai 20 kali lipat.
“Di Indonesia ada banyak VC karena industri startup kita masih awal, makanya banyak VC yang sangat aktif berinvestasi,” ucap Antonny.
Keempat, ada corporate VC. Biasanya mereka adalah bagian dari suatu grup besar yang sengaja dibentuk untuk mengelola uang dan diinvestasikan ke startup. Lalu kelima, ada private equity(PE). Mereka lebih menyukai perusahaan yang sudah ada di tahap akhir, misalnya IPO. PE membeli penuh perusahaan tersebut untuk kemudian dikelola sendiri.
Keenam, terdapat pula family office. Sumber dananya berasal dari kantong sendiri. GDP Ventures tergolong ke dalam jenis ini. Ketujuh, investment bank. Mereka menjual jasa sebagai perantara antara emiten sekuritas dan investor, melakukan underwriting dan bertindak sebagai broker. Terakhir, adalah pemegang saham publik yang dilakukan lewat IPO.
Langkah-langkah menggalang dana
Pertama, membuat presentasi dan pitching ke investor. Antonny menerangkan ini adalah proses yang cukup lama karena jarang sekali bisa langsung dapat. Untuk itu, tips yang perlu dilakukan adalah terus memperbaiki cara presentasi saat bertemu investor. Karena prosesnya yang lama, untuk itu memulai proses penggalangan dana harus dimulai lima bulan sebelum founder merasa butuh uang.
“Kalau mau pitching ke corporate VC malah akan lebih lama lagi prosesnya. Untuk itu harus spesifik mengejar investor apalagi ketika sudah ada tanda-tanda positif [setelah pitching].”
Kedua, membuat term sheet. Ketika sudah capai proses ini, kata Antonny, kemungkinan besar investor sudah tertarik dengan perusahaan Anda. Tapi dana segar tersebut belum cair, maka dari itu jangan senang dulu.
Dalam tahap ini, saat membuat term sheet dokumen harus menguraikan persyaratan finansial dari sebuah proposal investasi, terkait aksi perusahaan, kontrol perusahaan, perjanjian kerja, dan harus mencantumkan tanggal kedaluwarsa ditakutkan bila transaksi batal.
Ketiga, proses due dilligence. Dalam proses ini semakin awal usia sebuah perusahaan, maka semakin cepat prosesnya. Investor akan melihat dokumen internal, bagaimana laporan keuangannya, apakah ada hutang, struktur pemegang sahamnya akan di cek kembali, dan sebagainya.
“Kira-kira proses due dilligence bisa selesai dalam 1-2 bulan. Tapi tergantung seberapa kompleks, nanti ketika sudah selesai akan buat term sheet baru.”
Keempat, membuat definitive documents yang di dalamnya terdapat share subscription aggreement (SSA) dan shareholders’ agreement (SHA). Terakhir, tahap closing dan eksekusi. Setelah tahapan mencapai garis akhir, uang investasi umumnya akan cair dan masuk ke rekening bank sekitar tiga sampai enam bulan setelah tahap keempat diterima.
“Angel investor biasanya lebih cepat cairnya, corporate VC justru akan lebih lama karena prosesnya yang berjengjang. Karena prosesnya cairnya yang lama, sebaiknya jangan langsung diumumkan ke publik. Kalau bisa, uang investasi jangan dihambur-hamburkan untuk kebutuhan yang tidak relevan dengan eskalasi bisnis.”
Isi pikiran investor
Yang pasti, kata Antonny, dalam pikiran investor adalah mengincar imbal hasil (return of investment/ROI) dari setiap investasi yang dilakukan. Tapi yang membedakan adalah besaran ROI dari masing-masing tipe investor. Misalnya, untuk VC yang pasti adalah ROI dan kinerja dari hasil portofolio investee-nya.
Sementara, corporate VC melihat strategi, inovasi, dan branding bagaimana investee-nya tersebut dapat berkontribusi ke bisnis grup. Sementara untuk ROI-nya dilihat di bagian terakhir.
“Makanya corporate VC itu hanya berinvestasi ke startup-startup yang sejalan dengan core bisnis grup. Semisal, Mandiri Capital yang hanya investasi di sekitar fintech saja.”
Adapun untuk angel investor melihat brand, eksekusi bisnis dari startup tersebut, dan ROI. Sedangkan, family office melihat ROI, mengambil kontrol, dan brand.
“Sedangkan PE melihat bagaimana kontrol perusahaan karena dia beli perusahaan. Misal perusahaan yang mereka ambil sedang persiapan IPO, mereka persiapkan return yang mau diambil, persentase ROI-nya memang kecil tapi nilai uangnya yang besar.”
Antonny melanjutkan, mengingat setiap investor itu memiliki pandangan yang berbeda-beda. Untuk itu, founder startup harus tahu tipe investor apa yang akan dibidik. Jangan asal sembarang saja.
Apa yang investor lihat
Setiap investor, menurut Antonny, selalu melihat pertama kali dari sisi founder-nya itu sendiri. Seberapa besar kemampuannya untuk mengeksekusi suatu ide dan apakah dia memiliki passion untuk menyelesaikan problem dengan berbagai solusi yang akan dimunculkan.
Tak hanya itu, founder yang dilihat investor adalah mereka yang tidak terlalu bangga dengan ide, mau menerima masukan, dan yang terpenting siap untuk selalu belajar.
Berikutnya, melihat pangsa pasar apakah berhubungan dengan bisnis model. Seberapa besar pangsa pasar yang bisa disasar lewat produk. Pasalnya, produk itu selalu berubah demi beradaptasi dengan kondisi pasar dan kompetitor. Tidak ada produk yang selalu sama dari waktu ke waktu.
Terakhir melihat partner investornya. Siapa saja yang sudah investasi ke perusahaan tersebut. Kalau sudah ada nama investor besar yang terlibat, investor baru biasanya akan lebih yakin dengan startup tersebut ke depannya. Tak hanya itu, perlu di cek pula dari isi term sheet, hak-hak apa saja yang dipegang investor. Hal ini erat kaitannya dengan manajemen risiko.
Cara menghitung valuasi
Tidak ada rumus pasti dalam menghitung valuasi perusahaan. Setiap investor memiliki benchmark yang berbeda-beda. Namun bila dilihat secara piramida, di posisi terbawah ada seed round, yang dihitung ke dalam valuasi adalah gabungan metode yang dipersentasekan.
Lalu di atasnya ada posisi scaling, yang dihitung mulai dari traksi, benchmark, dan multiple. Posisi paling atas ada exit, menghitung valuasi dari benchmark, multiple, dan aset.
“Semakin ke atas posisi startupnya, makin mudah membuat valuasi. Namun semakin ke bawah semakin susah karena early stage itu makin berseni, hingga susah untuk dijelaskan.”
Namun yang pasti, nilai valuasi itu adalah angka yang disepakati oleh investor dan founder. Sehingga, menurutnya sangat disarankan untuk startup yang masih early stage untuk tidak ketinggian dalam menilai perusahaannya, ditakutkan ketika penggalangan dana berikutnya nilai valuasi turun, akan berbahaya bagi perusahaan.
“Valuasi itu adalah harga yang disepakati founder dan investor. Lagipula kebanyakan uang saat masih early stage itu tidak baik. Untuk startup yang raise money besar, seperti Go-Jek itu buat kebutuhan kompetisi dengan pasar,” pungkas Antonny.