Apakah Bisnis Startup di Indonesia Hanya Sebuah Fatamorgana?

Bisnis Startup di Indonesia – Banyak startup populer di Indonesia yang melakukan cara unik dalam mengembangkan bisnis, mulai dari Tokopedia, Traveloka, hingga GO-JEK, . Berbeda dengan bisnis biasa yang cenderung mengincar keuntungan, para startup tersebut justru terus “membakar” uang untuk memasang iklan atau menurunkan tarif demi memperoleh banyak pengguna.
Fenomena ini pun memancing komentar negatif dari banyak pihak, termasuk tulisan yang satu ini. Bisnis startup di Indonesia dianggap tak ubahnya seperti sebuah fatamorgana yang lambat laun akan hilang. Nasibnya bakal berujung seperti batu akik dan tanaman anturium: muncul, membuat gempar, lalu lenyap seperti asap. Benarkah demikian?

Bisnis baru yang masih “misterius”

Konsep “membakar” uang seperti yang dilakukan berbagai startup di tanah air sebenarnya merupakan hal yang sering dilakukan dalam mengembangkan bisnis. Mantan CEO AOL, Steve Case, menceritakan dalam buku The Third Wave bagaimana ia akhirnya berhasil mengajak masyarakat Amerika Serikat di tahun 1990-an untuk mencoba sebuah teknologi baru yang bernama internet.
Bagaimana caranya? Ia membagikan jutaan CD kepada para penduduk Amerika Serikat, dan menghabiskan dana sekitar US$300 juta (sekitar Rp3,9 triliun).
Menurut Indrasto Budisantoso, CEO Jojonomic, cara seperti ini pun telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia yang dahulu ramai-ramai membangun menara pemancar alias Base Transceiver Station (BTS) meski belum banyak yang menggunakannya. Bank Central Asia (BCA) pun pernah mengambil langkah serupa. Bank satu ini memasang anjungan tunai mandiri (ATM) di berbagai tempat meski belum banyak yang menggunakan kartu debit mereka.
Jadi, tidak semua bisnis yang mempunyai “rapor merah” di awal pasti tidak akan mendapat keuntungan di kemudian hari. Mereka hanya perlu menunggu untuk sampai di satu titik saat mereka bisa meraih keuntungan dalam jumlah yang besar, hingga bisa menutupi kerugian yang mereka alami di awal.
Lalu mengapa banyak orang  khawatir dengan kelangsungan bisnis startupyang saat ini juga menggunakan strategi “membakar” uang? Hal tersebut lebih karena keraguan mereka terhadap model bisnis startup di tanah air yang memang masih tergolong sangat baru.

Bagaimana cara startup tanah air mendapatkan uang?

Penulis artikel yang saya sebutkan di atas secara tersirat meragukan kelangsungan bisnis startup di tanah air seperti Tokopedia, Bukalapak, dan GO-JEK karena dua alasan. Pertama, karena startup di tanah air belum mempunyai pola monetisasi yang efektif. Kedua, karena mereka kini harus berhadapan dengan pihak asing.
Untuk alasan kedua sepertinya hanya waktu yang bisa menjawab apakah para founder startup di tanah air mampu “adu kreatif” dengan para pemain asing. Namun perihal pola monetisasi, startup di Indonesia sepertinya sudah menunjukkan perkembangan yang positif.
GO-JEK contohnya, jelas bisa mendapat pemasukan dari komisi yang mereka tarik dari setiap transaksi. Suatu saat nanti, mereka bisa berhenti memberikan berbagai promo dan menetapkan tarif yang sesuai hingga mereka bisa meraih keuntungan.
Startup yang dipimpin oleh Nadiem Makarim itu kini bahkan telah merambah ke bisnis finansial dengan GO-PAY. Dengan dana masyarakat yang terhimpun di akun GO-PAY, mereka tentu bisa menggunakannya untuk mendapat lebih banyak keuntungan.
William Tanuwijaya, CEO Tokopedia
Berbeda dengan GO-JEK, Tokopedia juga punya cara khusus untuk mendapat pendapatan, meski belum mau membocorkannya dengan rinci. “Dengan cara-cara monetisasi yang sehat tersebut, waktu kami untuk bertahan (runway) yang saat ini berkisar antara dua atau tiga tahun bisa bertambah hingga mencapai tujuh tahun,” ujar William Tanuwijaya, CEO Tokopedia, kepada Tech in Asia.
Jojonomic juga merupakan contoh startup yang cukup sukses dalam mencari pola monetisasi yang sesuai. Berawal dari aplikasi pencatat keuangan pribadi, mereka kini justru fokus menghadirkan platform Software as a Service (SaaS) khusus reimbursement untuk perusahaan yang ternyata bisa lebih efektif memberi pemasukan.
IDN Media, yang baru mendapat pendanaan Seri A di awal September 2016, juga terus berusaha mengembangkan pola monetisasi mereka. Berawal dari sebuah situs IDNTimes, mereka kini telah membuat situs baru bernama Popbela, platform video IDNtv, hingga layanan iklan dan event organizer.
Pertanyaan berikutnya: adakah startup Indonesia yang bisa menghasilkan uang? Jawabnya, ada. Neraca keuangan aCommerce Indonesia saat ini sudah menunjukkan angka positif. Aplikasi pemesanan tiket BookMyShowpun sudah mendapat keuntungan dari setiap tiket yang mereka jual.
Deretan nama di atas tentu hanyalah segelintir contoh. Selain mereka, masih banyak startup lain yang juga telah menemukan pola monetisasi efektif atau bahkan meraih keuntungan, meski masih enggan memberikan konfirmasi.

Optimisme investor yang bukan tanpa alasan

Ada startup yang “bersinar” setelah “membakar” uang, namun banyak pula yang “menjadi abu”. Tak sedikit founder startup di tanah air yang gagal menemukan cara monetisasi yang efektif setelah menggunakan uang investor besar-besaran. Inilah yang kemudian menyebabkan beberapa startup di tanah air seperti Shopious, Valadoo, hingga Abraresto akhirnya memutuskan untuk menghentikan layanan.
Dalam bisnis, kegagalan merupakan sesuatu yang lumrah dan bisa menjadi pembelajaran. Namun hal itu tidak serta merta membuat keseluruhan bisnis startup menjadi sebuah fatamorgana. Buktinya, para investor saat ini masih terus memberikan pendanaan kepada startup tanah air, yang artinya mereka masih punya kepercayaan terhadap pasar Indonesia. Mereka masih optimistik startup bakal bercahaya.
Stefan Jung (kanan), Managing Partner Venturra Capital
Para investor tersebut pun punya waktu (runway) yang cukup panjang untuk menunggu investasi mereka berbuah keuntungan. Stefan Jung, Managing Partner Partner di Venturra Capital (VC), menyebutkan kalau rata-rata VC di tanah air punya waktu sekitar 8 hingga 10 tahun sebelum harus mengembalikan uang kepada para investor mereka. Kurun waktu ini jelas jauh lebih panjang dibanding runway tiga tahun yang disebutkan oleh penulis artikel di atas.
Pastinya, para VC tersebut juga punya perhitungan matang untuk setiap investasi yang mereka keluarkan. Melihat perkembangan jumlah pengguna dan pola monetisasi para startup yang saya sebutkan di atas, rasanya investasi yang mereka gelontorkan memang bukan optimisme yang berlebihan.

Kesimpulannya, tidak ada masalah dengan model bisnis startup yang cenderung “membakar” uang, asal para founder startup tersebut terus berusaha mencari pola monetisasi yang efektif agar kelak bisa mendapat keuntungan. Apabila gagal, mereka harus belajar dari pengalaman dan segera bangkit dengan ide-ide yang lebih baik.
Pendampingan dari para investor dan mentor serta kehadiran berbagai program inkubator dan akselerator di tanah air juga diharapkan bisa membantu para founder Indonesia agar tidak terjebak “membakar” uang terus menerus yang berujung jadi asap dan abu.