Orang tua sebenarnya bukan melarang cuma nasihatin aja,

Kaos Distro Simbol Gaya Hidup Anak Muda

Dalam perkembangan peradaban manusia, busana tidak lagi sekedar berfungsi secara biologis tetapi juga memiliki fungsi sosial udaya yaitu lebih pada identitas diri dan gaya hidup. Hal tersebut berkaitan dengan adanya budaya konsumen yang memilki pemaknaan terhadap sesuatu, atau dengan kata lain sesuatu sebagai simbol bagi mereka. Remaja dalam pencarian identitas maupun jati diri selalu berusaha berbusana secara layak dalam arti mencoba untuk fashionable akan tetapi tetap dipengaruhi oleh kultur dominan yang ada seperti, norma agama dan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Kaos Distro sebagai salah satu sarana memenuhi kebutuhan remaja
Kaos Distro
untuk berbusana dengan layak, saat ini telah berkembang dengan baik sehingga menciptakan selera masa (remaja) dan membentuk gaya hidup berbusana bagi remaja sebagai konsumennya.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, adalah:
(1) Apa makna penggunaan produk Kaos Distro bagi remaja,
(2) Bagaimana wujud eksistensi diri
remaja melalui penggunaan produk distro,
(3) Apakah nilai-nilai dalam kultur dominan yang masih mempengaruhi gaya hidup berbusana remaja.
Penelitian ini bertujuan untuk
(1) Mengetahui makna penggunaan produk Kaos distro bagi remaja,
(2) Wujud eksistensi diri remaja melalui penggunaan produk Kaos distro,
(3) Nilai-nilai dalam kultur dominan yang masih mempengaruhi gaya hidup berbusana remaja.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang diamati. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Validitas data menggunakan triangulasi sumber. Analisis data dilakukan dengan menggunakan tiga alur, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna penggunaan produk distro bagi remaja adalah sebagai simbol gaya hidup berbusana remaja dalam arti adalah sesuatu yang menggantikan sesuatu, yaitu menggantikan produk produk kapitalisme digantikan pengguanaan terhadap produk-produk distro.Penggunaan produk Kaos Distro merupakan pilihan dengan alasan Kaos distro yang berasal dari kaum muda dirasa lebih tahu dengan selera kaum muda. Wujud eksistensi diri remaja melalui penggunaan produk distro terlihat melalui tujuan penggunaannya yaitu mewujudkan image remaja gaul dan fashionable yang dipengaruhi oleh media dan lingkungan pergaulan. Kaos Distro dirasa mampu mewakili gaya berbusana remaja sehingga remaja merasa bisa eksis dalam dunianya. Nilai-nilai dalam kultur dominan yang mempengaruhi gaya hidup berbusana remaja antara lain, kesopanan yang berkaitan dengan kultur Jawa yang bagi remaja diterapkan dalam pola pergaulan, kemudian nilai dalam keluarga dan agama yang menjadi tolak ukur dalam gaya berbusana remaja,
penilaian orang tua tidak hanya subjektif tetapi juga objektif, seperti gaya berpakaian remaja. Lingkungan pergaulan sebagai salah satu agen sosialisasi memiliki peran besar dalam membentuk gaya hidup berbusana remaja karena pada masa ini remaja sedang mencari jati diri dan identitas sehingga dengan kondisi psikologis yang masih labil pengaruh dari lingkungan cukup besar.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diambil kesimpulan bahwa: remaja memaknai Kaos Distro sebagai penanda remaja gaul dan modernitas dalam berbusana sehingga tujuan mereka menggunakan produk distro lebih mengarah pada gaya hidup. Wujud eksistensi remaja yaitu dengan adanya komunitas yang mengidentifikasi dari penggunaan produk distro. Nilai-nilai budaya lokal yang masih dipertahankan seperti, kesopanan dalam pergaulan dan berbusana, nilai agama dan penilaian orang tua yang membentuk kultur
dalam lingkungan pergaulan remaja.
Saran bagi remaja adalah jangan sampai gaya hidup menjadi sebuah keharusan dan paksaan dan jadikan nilai-nilai dalam kultur dominan seperti kesopanan dalam berbusana serta nilai religius sebagai tolak ukur dalam gaya berbusana.
sebagai salah satu kebutuhan primer manusia, selain pangan dan papan merupakan kebutuhan yang pada dasarnya bersifat fisiologis. Pada
awalnya sandang/busana merupakan kebutuhan biologis manusia, yakni fungsi proteksi cuaca, melindungi dari panas dan dingin, dari serangan binatang yang  pada intinya merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan. Dalam perkembangan peradaban manusia busana tidak lagi sekedar berfungsi secara biologis tetapi juga memiliki fungsi sosial budaya yaitu lebih pada identitas diri maupun kultur seperti etnis, religi, komunitas, selanjutnya adalah fungsi keindahan (estetika), penunjuk strata sosial dan gaya hidup, diantaranya pencitraan diri dan selera. Hal tersebut berkaitan dengan adanya budaya konsumen yang memilki pemaknaan terhadap sesuatu, atau dengan kata lain sesuatu sebagai simbol bagi mereka ( http://kaosdistro.web.id).
Jika berbicara mengenai budaya konsumen maka gaya hidup menjadi fokus utamanya, dimana dalam hal ini remaja sebagai bagian dari kaum muda merupakan konsumen utama. Remaja dalam pencarian identitas maupun jati diri selalu berusaha berbusana secara layak dalam arti mereka mencoba untuk fashionable akan tetapi tetap dipengaruhi oleh kultur dominan yang ada seperti, norma agama dan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Remaja selama ini memanfaatkan pasar fashion sebagai tempat mereka memenuhi kebutuhan akan sandang yang cenderung mengarah pada gaya hidup.
Selama ini pasar fashion di Indonesia lebih dikuasai oleh industry kapitalis yang menawarkan produk yang baik, berkelas, modis dan tentunya
hal tersebut merupakan syarat bagi busana yang memiliki fungsi estetika sebagai simbol gaya hidup, merk-merk mainstream seperti converse, nevada,levis, volcom, planet surf, billabong dan lain sebagainya merupakan bagian dari ideologi kapitalisme yang memiliki masalah utama adalah tingkat nominal produk tersebut, sedangkan konsumen yang lebih tertarik terhadap produk fashion semacam itu, perkembangan mode adalah remaja. Kemudian munculah dilema akan kebutuhan untuk bergaya dengan kondisi ekonomi sebagian penikmat mode khususnya remaja. Alasan selanjutnya adalah mengenai selera remaja yang beragam dan untuk produk fashion yang beredar kurang memenuhi selera yang dibutuhkan karena selera pasar lebih pada selera kultur dominan (dalam berbusana) yang wajar. Oleh karena itu inovasi muncul, yaitu dari kaum muda yang kemudian menawarkan alternatif baru dalam pemenuhan kebutuhan berbusana. Proses produksi, pemasaran maupun konsumsi oleh suatu komunitas juga memunculkan adanya subkultur kaum muda dalam perkembangan fashion dengan tujuan tampil beda.
Busana atau pakaian semakin tidak terjangkau harganya, padahal bagi anak muda khususnya remaja kebutuhan akan berbusana dengan layak bisa dibilang penting. Peluang ini kemudian ditangkap oleh beberapa pelaku wirausaha dengan mendirikan gerai-gerai busana yang diperuntukkan khusus bagi kaum muda.
Generasi muda merupakan generasi yang paling mudah menerima masukan serta rangsangan yang aktual di dalam lingkungannya. Masukan dan
rangsangan tersebut mereka dapatkan tidak hanya di sebuah institusi formal seperti sekolah, akan tetapi pergaulan serta lingkungan sangat mempengaruhidan membentuk karakter generasi muda tersebut dalam mempresentasikan jiwa mudanya. Identitas muda selalu mereka kaitkan dengan segala sesuatu yang bersifat kekinian dan baru (up date) dan memiliki bentuk-bentuk pemberontakan dalam sudut pandangnya sendiri. Generasi muda memiliki persoalan dan kebutuhan yang lebih komplek. Hal tersebut dapat diproyeksikan dalam fashion, dimana konsusmsi akan mode merupakan salah satu gaya hidup bukan lagi hanya sekedar memenuhi kebutuhan akan sandang semata, akan tetapi ada faktor lain semacam pencitraan diri, identitas, selera.
Salah satu cara untuk memenuhi persoalan tersebut adalah dengan pasar dimana terdapat pilihan yang bisa memuaskan mereka
Pemahaman akan pasar dalam memenuhi kebutuhan fashion bagi generasi anak muda sangat berbeda, mereka memeliki kecenderungan variatif
namun masih dalam selera masal (mass taste). Kecenderungan variatif tersebut menimbulkan pasar-pasar baru dalam dunia fashion. Secara perlahan pasar-pasar baru tersebut selain menjadi alternatif juga bergerak menjadi sebuah perlawanan dari pasar besar fashion yang merajalela.
Diawali dengan keberadaan mall sebagai pengganti pasar fashion tradisional, lantas mall menjadi rujukan utama dalam memuaskan persoalan dan kebutuhan fashion bagi generasi muda. Fenomena kemunculan pasar modern dengan produksi masal berlangsung cukup lama, hingga munculnya factory outlet, kemudian butik dan yang terbaru adalah distro. Kaos Distro merupakan fenomena baru dalam dunia fashion khususnya
kaum muda. Tujuan awal munculnya Kaos Distro adalah sebagai perlawanan terhadap dominasi produk fashion dengan merk-merk kapitalis yang selama ini beredar di pasar modern seperti mall, dengan ciri utama adalah produksi secara masal. Konsep awal distro adalah independen, yaitu tidak terikat dengan major label fashion tertentu. 
Kaos Distro memiliki desain dan merk sendiri, sekaligus pemasaran sendiri yaitu dengan membuka semacam toko yang khusus menjual produk-produk yang telah diproduksi secara terbatas. Setiap desain fashion distro biasanya hanya diproduksi tidak lebih dari 10 buah, hal ini merupakan salah satu ciri produk distro yang berbanding terbalik dengan produk-produk kapitalis.
Desain distro terkenal berani baik dari segi warna maupun gambar dan tulisan yang melekat pada produk Kaos Distro . Celana pensil,kaos dengan corak yang ekstrem sampai kemeja dengan gradasi warna yang unik adalah wujud industri kreatif yaitu distro. Merk-merk seperti Black ID,
Skater, Demochist, Provider adalah produk Kaos distro yang telah berkembang dan tidak lagi terbatas pemasarannya.
Bandung sebagai pionner distro telah melebarkan sayapnya dengan mengadopsi cara kapitalis yaitu memperluas jaringan pemasaran produk distro sampai ke daerah-daerah. Antusias pasar yang baik merupakan alasan utama memperluas jaringan, selain itu juga promosi melalui media yang cukup besar telah membuat permintaan bertambah. Meskipun muncul fenomena yang melenceng dari konsep awal, keberadaan Kaos distro sebagai indie fashion tidak lantas pudar, karena desain tetap unik, distro memilki merk-merk sendiri yang tetap membatasi produksi dalam tiap jenis dan modelnya. Hanya saja yang membedakan adalah pemasaran, distro-distro di daerah yang bekerja sama dengan Kaos distro di Bandung berperan sebagai distributor produk-produk distro, seperti kepanjangan distro yaitu Distribution Store.
Sekarang ini distro bukan hanya sebuah gerai yang memenuhi persoalan dan kebutuhan akan fashion generasi muda, akan tetapi distro
membentuk konsumennya menjadi bagian yang membentuk sebuah gaya hidup baru bagi generasi muda. Perkembangan Kaos distro yang cukup pesat dapat dilihat secara jelas, bawasannya hampir keseluruhan generasi muda perkotaan sekarang memiliki produk distro dan tidak luput dari tangkapan media. Para pengisi acara televisi, mulai dari pembawa acara segmentasi anak muda, voice jocky (vj) musik, artis sinetron dan group musik populer hampir keseluruhan mengenakan produk Kaos distro. Dengan demikian bisa dikategorikan bahwa gaya hidup distro yang identik dengan komunitas indie yang anti-mainstream bergeser menjadi selera massa (mass taste).
Kemunculan Kaos distro merupakan perlawanan terhadap dominasi produkproduk kapitalis di dunia fashion, dimana produk yang ditawarkan lebih
memberikan ruang bagi kaum muda khususnya remaja untuk berkreasi, berekspresi, dan eksis sebagai suatu industri kreatif yang semakin
berkembagng dalam masyarakat kita. Semakin lama Kaos distro dengan kelebihan yang ada mampu bersaing dan menjadi gerakan perlawanan kaum muda terhadap hegemoni pasar kapitalisme dan menumbuhkan gaya hidup baru yang anti kapitalisme. Meskipun tidak dipungkiri tetap ada pengaruh produk produk dominan terhadap keberadaan produk distro, akan tetapi dikemas dengan cara yang berbeda. Kesimpulan awal 
Kaos distro merupakan bagian dari subkultur kaum muda yang semakin menyebar luas sebagai selera, pilihan dan simbol gaya hidup berbusana bagi kaum muda khususnya remaja sebagai konsumen utamanya
Kontribusi yang bisa diberikan oleh desainer-desainer muda berbakat yang erat kaitannya dalam hal ini adalah dalam bentuk karya-karya yang
merupakan salah satu sarana dalam bergaul dalam hal berpakaian, peralatan olahraga, pernak-pernik tekhnologi yang dalam hal ini mempunyai kandungan nilai ekonomis yang mempunyai pangsa pasar anak muda yang tergabung dalam komunitas-komunitas untuk mendapatkan kebutuhan mereka dalam hal fashion mode, teknologi dan seni desain. Karena kontribusi yang besar dari mereka maka mereka berpikir untuk memproduksi dan membuat usaha dibidang konveksi dan yang lainnya. Pemikiran positif mereka menghasilkan usaha yang sangatlah menguntungkan dan juga mendapat respon yang besar khususnya oleh anak muda yang senang akan tren musik, fashion, dan juga desain grafis
Pengaruh fenomena distro sebagai sebuah industri kreatif dalam duniafashion juga sampai pada kota Banjarnegara, kota yang tergolong sebagai kota yang sedang berkembang di Jawa Tengah ini memilki banyak distro yang sebagian berada di pusat kota, akan tetapi memiliki konsumen merata.Perkembangan distro di Banjarnegara salah satunya di pengaruhi konsumen yakni remaja yang berlatar pendidikan SMP dan SMA. Planet dan Orbit distro adalah Kaos distro tertua di Banjarnegara berdiri sekitar 3 tahun yang lalu di awal dan pertengahan 2006, keberadaan distro tersebut awalnya sempat diragukan karena promosi produk distro belum segencar sekarang, akan tetapi ketakutan itu menjadi suatu pemacu spirit bagi pelaku usaha tersebut dan justru kemudian menginspirasi lahirnya distro-distro baru di Banjarnegara, sedangkan perkembangannya bisa dibilang cukup baik sampai sekarang. Dari hal-hal tersebut dapat dilihat bahwa bahwa distro merupakan bagian dari
kehidupan anak muda sekarang, yakni sebagai sarana pemenuhan gaya hidup guna pencitraan dirinya, karena mereka sebagai bagian dari masyarakat modern yang cenderung ingin melihat dan dilihat.
Manusia tidak hanya ditawari apa yang mereka butuhkan (what they needed), melainkan pula apa yang mereka harapkan (what they desired).
Dengan demikian, wants berubah secara aktif menjadi needs, apa yang semula sekadar menjadi keinginan berubah menjadi yang dibutuhkan.
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa konsumsi bukan sekedar pemenuhan kebutuhan semata, akan tetapi terdapat selera maupun
pencitraan diri sebagai bagian dari selera, khususnya anak muda yang antimainstream sebagai subkultur dalam masyarakat. Atas dasar kenyataan dan pernyataan tersebut di atas peneliti terdorong melakukan penelitian mengenai Penggunaan Produk Distro sebagai Simbol Gaya Hidup Berbusana Kaum Muda (Studi terhadap remaja konsumen di Kaos Distro
Berdasarkan alasan pemilihan judul, maka masalah dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh kesopanan/adat istiadat Jawa terhadap gaya hidup berbusana remaja?
2. Bagaimana pengaruh agama dan keluarga terhadap gaya hidup berbusana remaja?
3. Bagaimana tanggapan orang tua terhadap gaya hidup berbusana remaja?
4. Bagaimana pengaruh trend mode dalam lingkungan remaja terhadap gaya hidup berbusana mereka?
5. Bagaimana tanggapan lingkungan pergaulan remaja terhadap gaya berbusana mereka?
6. Bagaimana simbol gaya hidup berbusana remaja melalui penggunaan produk distro?
7. Bagaimana persepsi remaja tentang Kaos distro?
8. Apa alasan remaja menggunakan produk Kaos distro?
9. Bagaimana perbedaan produk distro dan di luar distro?
10. Apa makna distro dan penggunaan produk distro bagi remaja?
11. Bagaimana wujud eksistensi diri remaja melalui penggunaan produk distro?
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, fokus utama dalam penelitian ini adalah gaya hidup berbusana kaum muda melalui Kaos distro. Supaya
permasalahan yang dikaji tidak meluas maka permasalahan ini dibatasi pada Penggunaan Produk Kaos Distro sebagai Simbol Gaya Hidup Berbusana Kaum Muda
 Dari uraian diatas maka muncul permasalahan sebagai berikut:
1. Apa makna penggunaan produk Kaos distro bagi remaja?
2. Bagaimana wujud eksistensi diri remaja melalui penggunaan produk distro?
3. Apakah nilai-nilai dalam kultur dominan yang masih mempengaruhi gaya hidup berbusana remaja?
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui makna penggunaan produk Kaos distro bagi remaja.
2. Untuk mengetahui wujud eksistensi diri remaja melalui penggunaan produk Kaos distro.
3. Untuk mengetahui nilai-nilai dalam kultur dominan yang masih mempengaruhi gaya hidup berbusana remaja.

Kaos Distro Simbol Gaya Hidup Anak Muda

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha-usaha mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu Antropologi kontemporer, yang berkaitan dengan gaya hidup,simbolisme, kultur dan subkultur.
2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan gambaran umum kepada pelaku usaha mode seperti Kaos distro sekaligus konsumen, selain itu juga menjadi studi komprehensif bagi kaum muda. Memberikan masukan-masukan positif tentang fashion remaja dan kutur dominan yang mempengaruhinya.
Dalam penelitian ini perlu diberikan batasan istilah mengenai hal-hal yang diteliti untuk mempermudah pemahaman dan menghindari kesalahpahaman dalam mengartikan atau menafsirkan serta untuk membatasi permasalahan yang ada.
1. Produk
Barang/jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil dari proses produksi itu
2. Distro
Menurut Sadsonic Labs Management (PR cyber media, 24 Maret 2006), dikatakan bahwa distro sendiri berasal dari kata distribution store
yang bisa diartikan sebagai toko yang khusus mendistribusiakan produk dari suatu komunitas. Jadi dapat disimpulkan bahwa Kaos distro merupakan outlet atau toko sebagai jalur distribusi dari produk-produk fashion dari suatu komunitas yang tidak bersifat masal.
3. Gaya hidup
Gaya berarti sikap, gerakan atau tingkah laku (KBBI.1995:340). Menurut Chaney (1996:91), gaya hidup adalah cara-cara terpola untuk
menginvestasikan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik.
4. Kaum muda
Kaum dalam KBBI merupakan suku bangsa, orang atau sekelompok orang yang sekerja, sepaham, sepangkat, sederajat (1995:517). Sedangkan muda dalam KBBI adalah belum sampai setengah umur atau dengan kata lain belum dewasa (1995:757).
Dalam penelitian ini kaum muda yang dimaksud adalah remaja yaitu mulai dewasa, sudah sampai umur untuk menikah (1995:944). Remaja adalah usia dimana mereka mulai beranjak dari masa anak-anak atau istilah populernya adalah ABG/teenagers, yakni usia antara 14-21
tahun. Dalam penelitian ini remaja yang dimaksud adalah sebagian besar remaja usia Sekolah Menengah Atas (SMA), dari usia 16-20 tahun.
Bicara tentang budaya konsumen maka tidak lepas dari teori kebutuhan, menurut Abraham Maslow manusia mempunyai 5 kebutuhan yang
membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hierarki, teori ini dikenal dengan hierarchy of needs (hierarki kebutuhan), dari kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang paling mudah hingga sulit untuk dicapai atau didapat. Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi. Kebutuhan Maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya.
Berikut adalah 5 hierarki kebututuhan dasar Maslow:
a. Kebutuahan fisiologis, seperti sandang/pakaian, papan/rumah, pangan/makanan, dan kebutuhan biologis misalnya bernafas.
b. Kebutuahan keamanan dan keselamatan, misalnya bebas dari penjajahan, bebas dar rasa sakit.
c. Kebutuhan sosial, seperti berteman, cinta dari lawan jenis, memiliki keluarga.
d. Kebutuhan penghargaan/untuk dihargai, misalnya pujian, hadiah.
e. Kebutuhan aktualisasi diri, seperti kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya
Konsumen Indonesia memiliki 10 karakter dalam memenuhi kebutuhan 
a. Berpikir jangka pendek, mencari yang serba instans.
b. Tidak terencana, mangambil keputusan pada saat-saat terakhir, impulse buying yaitu membeli tanpa rencana.
c. Suka berkumpul, dalam falsafah orang Jawa ”mangan ora mangan asal kumpul”. Hal ini juga merupakan sarana promosi yang efektif melalui
komunitas, relasi, dari mulut ke mulut.
d. Gagap tekhnologi, namun hal ini tidak pada konsumen muda mereka lebih adaptif tekhnologi.
e. Orientasi pada konteks, dipengaruhi oleh rendahnya minat baca,melihat/menonton sesuatu yang ringan dan bersifat menghibur jadi
mudah diubah persepsi.
f. Suka merk luar negeri, adanya sifat gengsi dan prestise.
g. Religius, peduli terhadap isu agama, pertimbangan halal dan haram.
h. Gengsi, menjunjung status sosial, hal ini disebabkan oleh
(1). Suka bersosialisasi sehingga cenderung pamer
(2). Budaya feodal, adanya kelas-kelas sosial dalam masayarakat.
(3). Mengukur kesuksesan dengan materi dan jabatan.
i. Kuat di subkultur, fanatisme kedaerahan tinggi.
j. Kurang peduli lingkungan  
Pengertian Distro
Menurut Sadsonic Labs Management (PR cyber media, 24 Maret 2006) via Erwin (2007:65) dikatakan bahwa distro sendiri berasal dari kata
distribution store yang bisa diartikan sebagai toko yang khusus mendistribusikan produk dari suatu komunitas. Sedangkan clothing company
adalah istilah yang digunakan untuk perusahaan yang memproduksi pakaian jadi dibawah brand mereka sendiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa distro merupakan outlet atau toko sebagai jalur distribusi dari produk-produk clothing company dari suatu komunitas. Kaos Distro merupakan fenomena baru dalam dunia fashion khususnya kaum muda. Tujuan awal munculnya distro adalah sebagai perlawanan terhadap dominasi produk fashion dengan merk-merk kapitalis yang selama ini beredar di pasar modern seperti mall, dengan ciri utama adalah produksi secara masal.
Konsep awal distro adalah independent, yaitu tidak terikat dengan major label fashion tertentu. Kaos Distro memiliki desain dan merk sendiri, sekaligus pemasaran sendiri yaitu dengan membuka semacam toko yang khusus menjual produk-produk yang telah diproduksi secara terbatas.
Sejarah Perkembangan Distro
Konsep Kaos distro berawal pada pertengahan tahun 1990-an di Bandung. Saat itu band-band independen Bandung berusaha menjual merchandise mereka seperti CD/kaset, t-shirt, dan stiker selain di tempat mereka melakukan pertunjukan. Bentuk awal Kaos distro adalah usaha rumahan dengan etalase dan rak untuk menjual t-shirt. Selain komunitas musik, akhirnya banyak komunitas punk dan skateboard yang kemudian juga membuat toko-toko kecil untuk menjual pakaian dan aksesori mereka yang lain.kini, industri Kaos Distro sudah berkembang bahkan dianggap menghasilkan produk-produk yang memiliki kualitas ekspor. Pada tahun 2007 diperkirakan ada sekitar 700 unit usaha distro di Indonesia.
Distro, singkatan dari distribution store atau distribution outlet, adalah jenis toko di Indonesia yang menjual pakaian dan aksesori yang dititipkan
oleh pembuat pakaian, atau diproduksi sendiri. Kaos Distro umumnya merupakan industri kecil dan menengah (IKM) yang sandang dengan merk independen yang dikembangkan kalangan muda. Produk yang dihasilkan oleh distro diusahakan untuk tidak diproduksi secara massal, agar mempertahankan sifat eksklusif suatu produk.
Berawal dari itu distro kemudian berkembang menjadi suatu bentuk wirausaha yang banyak digeluti oleh kaum muda untuk mengekspresikan
kretifitas dan independensi diri mereka. Sehingga Kaos distro merupakan suatu  bentuk subkultur dari sebuah industri fashion, yang secara langsung juga menciptakan selera, komunitas, dan kebutuhan kaum muda yang menjadi bagian dari kebudayaan yang dominan. Seiring berjalannya waktu pengaruh positif distro mulai terasa pada kaum muda khususnya, dimana produk distro dijadikan trendsater baru, pola promosipun banyak dilakukan terutama melalui dunia entertaint, dimana fashion yang dipakai public figure cenderung mengarah kesana. Hal itu menunjukkan bahwa industri yang awalnya independent selanjutnya bisa dikelola dengan profesional tanpa kehilangan jiwa indienya sebagai suatu subkultur dalam ranah budaya fashion.
Distro sebagai subkultur memiliki dua pandangan, yakni
  1. Kaos Distro merupakan simbol perlawanan terhadap budaya dominan yaitu industri fashion (merk-merk branded). Distro sebagai alternatif bagi kaum muda untuk berbuasana secara ”layak”. Selain itu distro merupakan resistensi terhadap kapitalisme.
b. Independent, artinya Kaos distro tidak terpengaruh kultur mapan meskipun terdapat pengaruh westernisasi. Perkembangan distro di Indonesia tergolong cepat sebagai revolusi budaya, sehingga memunculkan sub budaya dalam masyarakat khususnya dunia fashion bagi kaum muda. Sekaligus alternatif untuk memenuhi kebutuhan akan gaya bagi kaum muda guna eksistensi diri mereka.
Konsep tersebut mungkin tidak bisa terbaca dengan jelas, karena secara historis ’bentuk’ seperti clothing company dan Kaos distro telah ada terlebih dahulu, seperti C59 T-shirt, Dagadu dan Joger, akan tetapi yang membedakan adalah kontent dari produk Kaos distro berbeda berbeda seiring dengan perkembangan jaman. Kontent tersebut terkandung didalamnya perkembangan musik, permainan ketangkasan dan memorabilia produk lampau. Konten tersebut direpresentasikan dalam berbagai produk hingga membentuk sebuah gaya hidup baru yaitu gaya hidup distro.
Sebagai contoh: ouval research, apabila seakan membentuk homology dari distro yang menjual produk clothing company menjadi sebuah gaya hidup 
Kaos distro. fashion, musik, gadged dan hobi menjadi sebuah identitas kekinian generasi muda masa kini yang ditangkap dan dibentuk kembali oleh ouval research. Konsep fashion yang ditawarkan adalah bergaya urban, hal tersebut identik dengan sistem tanda yang digunakan. Musik menjadi identitas disposition, bahwa yang mengenakan produk dari ouval research secara umum menyukai musik, hal tersebut tampak dalam produk dari ouval research berupa gadget mp3 player dan portable audio backpack. Hobi yang dicerminkan oleh produk ouval research beragam, diantaranya adalah sesuatu yang atarktif, lincah dan dinamis seperti dance,basket,lego,skateboard dan the transporter.
Kaos Distro sebagai bagian dari Subkultur Kaum Muda
Subkultur adalah suatu budaya atau seperangkat dari individu dengan perilaku dan keyakinan yang berbeda dalam kebudayaan yang lebih luas.
Riesman membedakan antara mayoritas, “yang secara pasif menerima dan makna-makna komersial yang tersedia, dan suatu ‘subkultur’ yang secara aktif mencari gaya minor dan menginterpretasikannya dalam acuan nilai-nilai subversif” (Riesman 1950:71). Esensi dari suatu subkultur, yang membedakannya dengan pengelompokan sosial lain adalah pemahaman yang berbeda tentang cara memandang dan memberikan makna terhadap nilai-nilai yang dimiliki mainstream.
Suatu kelompok subkultur terbentuk ketika kebudayaan yang lebih besar tidak dapat memenuhi kebutuhan suatu kelompok dalam masyarakat. Mereka menawarkan pola dan nilai hidup yang berbeda, tetapi tetap memiliki hubungan dengan budaya yang lebih luas. Subkultur berusaha memenuhi kebutuhan akan status, penerimaan dan identitas yang tidak dapat dipenuhi oleh kebudayaan yang lebih luas.
Secara sosiologis, sebuah subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk
mereka. Subkultur dapat terjadi karena perbedaan usia anggotanya, ras, etnisitas, kelas sosial dan gender, dan dapat pula terjadi karena perbedaan aesthetik, religi, politik dan seksual atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Distro muncul dari komunitas yang merupakan bagian dari kultur yang ada seperti kelompok aliran musik tertentu, dan tujuan kemunculannya adalah sebagai tanda eksistensi sebuah subkultur terutama di kalangan kaum muda, yang sekaligus menawarkan alternatif pada lingkungan mereka mengenai pilihan fashion. Dalam hal ini mereka mencoba menggali kreatifitas dari mereka dan untuk mereka, akan tetapi semakin berkembangnya distro sebagai salah satu industri fashion mempengaruhi keberadaan Kaos Distro dalam masyarakat, saat ini distro bukan hanya sebagai wadah komunitas tertentu tetapi sudah menjadi pilihan kaum muda untuk selera fashion mereka dan hal tersebut merupakan suatu ”penyimpangan” dari kultur dominan khususnya dalam hal berbusana. Hal tersebut bisa dilihat dari model busana, corak busana, gradasi warna maupun style yang diciptakan. Dalam msayarakat kita gaya berbusana fashionable, tampil beda terkesan nyleneh bahkan glamour dan yang lebih utama lagi fungsi berbusana tidak hanya untuk kebutuhan secara fisiologis, tetapi lebih pada pencitraan diri, identitas dan eksistensi diri
yang mengarah pada gaya hidup fashion bagi kaum muda. Bisa dilihat bahwa gaya hidup tersebut merupakan bagian dari sebuah subkultur kaum muda yang mereka wujudkan melalui penggunaan produk-produk Kaos distro, dimana terdapat pemaknaan berbeda mengenai cara mereka berbusana, misalnya wujud ekspresi diri mereka terhadap aliran musi tertentu, ataupun terdapat imitasi, berbusana layaknya idola mereka, sehingga dalam masyarakat terkesan sebagai gaya yang minor, berbeda dengan kultur berbusana yang dominan atau antimainsteram.
d. Distro sebagai Industri Mode
Kaos Distro sebagai industri kreatif memiliki terminologi tidak sekedar melihat bagaimana proses produksi dan distribusi dilakukan. Terminologi ini ingin melihat seberapa inovatif sebuah gagasan, yang akan dinilai oleh pasar sehingga menciptakan permintaan. Industri kreatif menekankan pada keahlian seseorang mencipta. Sebuah wacana yang muncul di negara-negara maju. Saat wacana ini dibawa ke negara berkembang yang terjadi adalah pembenturan dengan kondisi objektif masyarakat. Kemudian berangkat dari keinginan memenuhi kebutuhan sendiri, gerakan ekonomi mandiri mulai menggeliat saat krisis menerjang tahun 1997. Setelah sekian lama berjalan ledakan perusahaan clothing yang digadang-gadang sebagai hasil kreativitas terjadi tahun 2003-2004. Aroma industripun tercium, dan hal yang perlu dikritisi adalah  hubungan industrial yang terjadi di dalamnya, apakah mengandung unsur eksploitasi atau yang lainnya, terlebih melihat kelahiran clothing dan Kaos Distro berasal dari spirit kemandirian dan perlawanan sistem kapitalis yang ajek. Dan lebih utama lagi para pegiat di dalamnya adalah kaum muda yang mestinya
punya basis kuat dan idealisme (Rakasiwi, 2008).
Tujuan estetika industrial ialah menata produksi sesuai dengan tuntutantuntutan keindahan dan kelayakan. Itu berarti, ia bertujuan menciptakan kondisi-kondisi yang paling menyenangkan bagi pemeliharaan kesehatan dan semangat tinggi dari pekerja, demi peningkatan produktivitas kerja. Rancangan yang tepat dan menyenangkan bagi gedung-gedung dan alat-alat yang mencolok; pemodelan pakaian-pakaian kerja yang menyenangkan dan indah; dekorasi interior gedung-gedung dan tempat-tempat rekreasi; semuanya ini merupakan bidang estetika industrial.
Barang-barang industrial yang mempunyai kesempurnaan estetis dan terkadang mempunyai nilai artistik dapat diciptakan dalam proses rancangan. Estetika industrial adalah teori rancangan industrial. Dalam estetika industrial menguraikan dan melukiskan standar-standar tekhnis dan operasional bagi barang-barang industrial yang memadukan kelayakan dengan keindahan.
Akhirnya interelasi antara perkembangan tekhnologi dan seni diwujudkan dalam kenyataan bahwa perkembangan tekhnologi memungkinkan munculnya bentuk-bentuk baru seni (Dagun, 1992:85-86).
3. Gaya Hidup
Kata gaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:340) berarti sikap, gerakan atau tingkah laku. Kemudian Subandy (2000:165)
mengemukakan bahwa gaya hidup merupakan wahana ekspresi dalam kelompok yang mencampurkan nilai-nilai tertentu dari agama, sosial dan
kehidupan moral melalui bentuk-bentuk yang mencerminkan perasaan. Pada abad-21 ini telah menjamur berbagai industri modern, diantaranya industry mode atau fashion, indsutri kecantikan, indsutri kuliner, pusat perbelanjaan, apartemen, real estate, makanan serba instans, peralatan canggih (gadget), indsutri iklan serta televisi. Indsutri-indsutri tersebut menyebabkan banyak masyarakat yang lebih mementingkan gaya daripada fungsi dan kegunaan dari barang maupun produk tersebut.
Selain gaya hidup yaitu cara-cara terpola dalam penggunaan, pemahaman atau penghargaan artefak-artefak budaya material untuk menegaskan
permainan kriteria status dalam konteks sosial (Chaney.1996:91). Kemudian Toffler (dalam Subandy 2000:165) juga menambahkan pengertian tentang gaya hidup bahwa gaya hidup merupakan alat yang dipakai individu untuk menunjukan identifikasi mereka dengan subkultur-subkultur tertentu. Selain itu Solomon (2002:124) gaya hidup dapat didefinisikan sebagai suatu pola konsumsi yang merefleksikan pilihan orang dalam menggunakan waktu dan uangnya ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh London dan Della Bitta (dalam Assael 1993:356) yang menganggap gaya hidup sebagai pola hidup yang unik yang mempengaruhi dan terefleksikan oleh perilaku konsumen seseorang.
Secara sederhana gaya hidup didefinisikan sebagai bagaimana seseorang hidup (how one lives), termasuk bagaimana seseorang menggunakan uangnya, bagaimana ia mengalokasikan dan menghabiskan waktunya, dan sebagainya.
Gaya hidup seseorang dapat berubah, akan tetapi perubahan ini bukan disebabkan oleh berubahnya kebutuhan. Perubahan itu terjadi karena nilai nilai yang dianut seseorang dapat berubah akibat pengaruh lingkungan Menurut Chaney (1996:167-225) ada tiga hal yang menjadi karakteristik gaya hidup, yakni:
a. Tampilan luar
Penampilan luar dari benda-benda, orang, ataupun aktivitas menjadi salah satu aspek penting dalam masyarakat. Perkembangan
modernisasi yang berupa tekhnologi dan televisi telah memunculkan iklan sebagai awal masayrakat lebih mementingkan kemasan luar
daripada fungsi dan manfaatnya. Industri periklanan menampilkan label, logo, dan slogan yang sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakat sehari-hari.
b. Diri dan identitas
Semua sifat dan kualitas dalam diri setiap individu merupakan sebuahidentitas baginya.
c. Fokus perhatian berulang-ulang
Cara-cara hidup yang diterima suatu kelompok bisa dikenali melalui ide-ide, nilai, cita rasa, musik, makanan, pakaian dan lain-lain. Namun sifatnya tidak mutlak atau bisa berubah-ubah terutama menyangkut gender atau subkultur dalam suatu masyarakat.
Untuk selanjutnya adalah jenis-jenis gaya hidup, menurut Mintel (dalam Chaney.1996:70), yaitu:
a. Pakaian, berhubungan dengan segala sesuatu yang menutupi seluruh bagian tubuh, yaitu baju, celana, jaket, topi dan lain-lain.
b. Musik, berkaitan dengan jenis (aliran) musik yaitu: pop, rock, jazz dan lain-lain.
c. Tempat wisata, makanan dan minuman, berhubungan dengan tempat tempat yang biasa dijadikan objek wisata seperti, pantai, bukit, museum, restoran, club dan lain-lain. Makanan dan minumanmberhubungan dengan sesuatub yang dapat dimakan dan diminum.
d. Panampilan, berkaitan dengan pemakaian barang untuk menunjukan identitas diri, yaitu sepatu mahal, pakaian mahal, kendaraan mahal, bank dan investasi.
e. Tabungan, berkaitan dengan uang, bank, investasi, asuransi.
f. Hobi, berhubungan dengan sesuatu yang dapat nikmati, diekspresikan, seperti membaca.
g. Kendaraan, berkaitan dengan sesuatu yang digunakan untuk dikendarai atau dinaiki seperti mobil, pesawat.
Selera dan gaya hidup kaum muda tidak dapat dilihat secara terpisah dari proses sosialisasi yang dimulai pada usia muda. Gaya hidup modern
sesungguhnya dimulai di rumah (Lofgren, 1993:10). Materialisasi hubungan orang tua-anak merupakan gejala yang mencolok. Proses ini menjelaskan banyak hal tentang transformasi dan formasi tata nilai dan gaya hidup. Perubahan antar generasi telah pula memberi pengaruh besar terhadap integrasi kebudayaan subjektif ke dalam kebudayaan objektif. Gaya hidup kaum muda memperlihatkan berlakunya nilai-nilai yang variatif dan bersifat kontestatif. Nilai-nilai tersebut sama sekali tidak terbagi, baik menjadi bagian dari suatu komunitas budaya yang terdefinisikan maupun menjadi bagian dari subkomunitas kaum muda. Variasi kelompok kaum muda itu sendiri perlu dilihat berdasarkan berbagai parameter (gender, kelas, desakota,agama) sehingga pendefinisian kebudayaan sebagai sesuatu yang dibagi bersama harus dipikirkan kembai keabsahannya. Kehadiran kaum muda dengan nilai-nilai yang bervariasi sesungguhnya merupakan agen perubahan karena sikap permisif yang dimiliki dan juga karena potensi untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan primordial yang dienkulturasikan dan disosialisasikan dalam berbagai wacana sosial (Featherstone, 1990). Dari sini sesungguhnya dapat dikatakan bahwa kaum muda tidak lagi sebagai konsumen terhadap
nilai-nilai yang dirumuskan oleh generasi tua dalam suatu lingkungan (setting) sosial, tetapi mereka mulai ikut mengendalikan nilai dan menegosiasikan praktik-praktik sosial (Griffin, 1993). Untuk itu, adalah suatu kesalahan besar jika kemudian usaha menemukan kebudayaan kaum muda dilakukan dengan menghubungkannya dengan kebudayaan general, tanpa melihat subkultur yang dibentuk secara independen atau dalam konteks proses sosial yang begitu bervariasi seperti media.
Dipahami secara meluas bahwa kebudayaan merupakan jaring-jaring makna yang dirajut oleh manusia (Geertz, 1973), harus pula dipahami bahwa tidak semua komunitas ikut merajut jaring-jaring makna tersebut, sebagian orang adalah penonton. Akibat posisi kaum muda yang tersubordinasi dalam setiap masyarakat, maka kaum muda pada dasarnya tidak ikut merajut nilai nilai sehingga kepentingannya tidak selalu terwakili. Hal ini secara tidak langsung menimbulkan pola atau cara, kemudian kebiasaan dan meluas menjadi sebuah budaya yang tidak dominan dalam masyarakat yaitu subkultur. Budaya yang terbentuk menjadi ideologi yang melayani kepentingan-kepentingan tertentu.
Praktik sosial yang diperlihatkan oleh kaum muda tampak begitu jauh dari nilai-nilai general. Cara berpakaian dengan mode-mode yang begitu cepat berkembang tidak lain menunjukkan bagaimana kaum muda terintegrasi ke dalam suatu tatanan global (Shilling, 1991). Praktik yang dilakukan kaum muda sesungguhnya merupakan faktor penting dalam pembentukan tatanan baru. Kaum muda secara langsung ”memaksakan” terbentuknya kebiasaankebiasaan baru dalam masyarakat. Selera kaum muda, meskipun berbeda dengan kaum tua, dapat menjadi selera yang diterima karena tekanan-tekanan yang diberikan oleh berbagai agen sosial yang lain yang telah membangun ”jalan” bagi penerimaan sosial. Atau sesungguhnya telah terbentuk suatu iklim yang kondusif bagi disahkannya tindakan-tindakan sosial yang semula dianggap menyimpang. Media dalam hal ini memiliki jasa yang cukup besar dalam proses perubahan nilai general (Abdullah, 2007:186).
Persoalan gaya hidup adalah persoalan yang kompleks dan menuntut penjelasan dari berbagai disilpin akademis, mulai dari sosiologi, antrolpologi, semiotika, hermeneutika, studi komunikasi, dan studi budaya (cultural studies). Dalam abad gaya hidup penampilan adalah segalanya. Perhatian terhadap penampilan sebenarnya bukan hal yang baru dalam sejarah. Urusan penampilan atau presentasi diri ini sudah lama menjadi perbincangan sosiolog dan kritikus budaya. Erving Goffman, misalnya dalam The Presentation of selfin everyday life (1959), mengemukakan bahwa kehidupan sosial terutama terdiri dari penempilan teatrikal yang diintualkan, yang kemudian lebih dikenal dengan pendekatan dramaturgi (dramaturgical approach). Yang maksudnya adalah bahwa kita bertindak seolah-olah di atas sebuah panggung.
Bagi Goffman, berbagai penggunaan ruang, barang-barang, bahasa tubuh, ritual nteraksi sosial tampil untuk memfasilitasi kehidupan sosial sehari-hari. ”Kamu bergaya maka kamu ada” adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya. Dalam ungkapan Chaney, ”penampakan luar” menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup. Gaya menggantikan substansi, kulit akan mengalahkan isi,. Pemasaran penampakan luar, penampilan, hal-hal yang bersifat permukaan atau kulit akan menjadi bisnis besar gaya hidup. Chaney juga mengatakan bahwa pada akhir modernitas semua yang kita miliki akan menjadi bidaya tontonan (a culture of spectacle). Semua orang ingin menjadi penonton dan sekaligus ditonton. Ingin melihat tapi sekaligus juga dilihat. Disinilah gaya mulai menjadi modus keberadaan manusia modern. Ketika gaya menjadi segala-galanya adalah gaya, maka perburuan penampilan dan citra diri juga akan masuk dalam permainan konsumsi (Chaney, 1996:16).
4. Kaum Muda
  1. Kaum muda dalam sudut pandang biologis
Kaum muda merupakan golongan anak muda atau remaja yakni usia mulai dewasa, merupakan periode penting, peralihan, perubahan, usia
bermasalah, pencarian identitas (Soeparwoto, 2005:62). Yang tergolong remaja biasanya adalah pada usia 13-21 tahun, dimana terjadi perubahan sikap yang sejajar dengan perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan siakap juga berlangsung pesat. Ada 5 perubahan pada masa remaja. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan  fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua,perubahan-perubahan yang menyertai kematangan seksual membuat remajatidak yakin akan dirinya, kemampuan-kemampuannya serta minatnya. Ketiga, perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh lingkungan menimbulkan masalah baru bagi remaja. Keempat, perubahan dalam minat dan perilaku disertai pula perubahn dalam nilai-nilai. Kelima, sebagian remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.
  • Kaum muda dalam sudut pandang psikologis
Memasuki ruang falsafah tentang kaum muda dan identitas cinta universal, kita dibawa pada permasalahan awal, yaitu memahami dengan utuh siapakah kaum muda. Selama ini pemahaman kita tentang kaum muda mengendap pada kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi secara biologis oleh usia.
Padahal, seperti yang dikatakan Talcot Parsons, kaum muda adalah sebuah konstruksi sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat. Kaum muda adalah sebuah konsep yang bersifat ambigu. Kaum muda, sebagai usia dan sebagai masa peralihan tidak mempunyai karakteristikkarakteristik umum. Kadang bersifat legal dan kadang tidak. Dalam studinya tentang batas-batas kedewasaan di Inggris, A. James
(1986) mengatakan batas usia fisik diperluas sebagai batas definisi dan batas kontrol sosial. Sementara bagi Grossberg (1992) yang menjadi persoalan adalah bagaimana kategori kaum muda yang ambigu itu diartikulasikan dalam wacana-wacana lain, misalnya musik, gaya, kekuasaan, harapan, masa depan, dan sebagainya. Maka, saat orang-orang dewasa melihat kaum muda sebagai masa peralihan, kaum muda justru menganggap posisi ini sebagai sebuah keistimewaan di mana mereka mengalami sebuah perasaan yang berbeda, termasuk di dalamnya pemberontakan sebagai hak menolak rutinitas keseharian yang dianggap membosankan.
Hampir sama dengan pendapat tersebut, Dick Hebdige dalam Hiding in the Light (1988) menyatakan kaum muda dikonstruksikan dalam wacana
“masalah” dan “kesenangan”. Kaum muda sebagai pembuat masalah dan kaum muda dengan perilaku hanya gemar bersenang-senang. Padahal jika mau jujur, kaum muda seperti yang dikatakan Max Weber hanyalah menjadi tumbal zaman, menanggung dan menerima warisan kesalahan-kesalahan dari generasi terdahulu, kaum tua.Soekanto (2005:371) mengatakan, masalah kaum muda pada umumnya ditandai oleh dua ciri yang berlawanan. Yaitu keinginan untuk melawan sikap dan sikap yang apatis. Melawan dalam hal ini positif, dijelaskan sebagai bentuk perlawanan yang disertai dengan suatu rasa takut bahwa masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang. Apatis dalam hal ini
diakibatkan rasa kecewa terhadap masyarakat. Bentuk perlawanan dan apatis tersebut tentu saja berbeda antara generasi muda yang berada di perkotaan dan pedesaan berdasarkan pada gejala sosial dan habitus.
  • Kaum dalam sudut pandang sosial budaya
Kaum muda dinilai sebagai agen penting dalam proses peradaban, khususnya karena melalui kaum mudalah unsur-unsur baru dapat dengan
mudah dimasukkan ke dalam suatu masyarakat. Istilah ”bejiwa muda”,misalnya telah digunakan untuk menunjuk kepada sikap progresif dan praktik praktik baru. Dalam distribusi barang global kaum muda memainkan dua peran utama. Pertama, mereka merupakan agen dalam pembentukan kebudayaan konsumen. Disini kaum muda terlibat dalam iklan dan distribusi barang-barang kapitalis di pasar. Oleh karena itu, tidak heran jika istilah seperti ”muda” atau ”tampak muda” telah menjadi kata kunci dalam diskursus estetis. Pernyataan seperti ”kelihatan muda” atau ”selera kaum muda” seringkali digunakan untuk menyimbolkan proses modernitas. Kedua, kaum muda merupakan pasar potensial bagi produk global. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa konsumsi merupakan indikator dari ekspresi diri. Selera estetika merupakan pasar yang baik bagi benda-benda tersebut (Abdullah,2007:181).
  • Remaja sebagai bagian dari Kaum Muda
Kaum muda mencakup usia remaja dan dewasa, sehingga remaja merupakan bagian dari golongan kaum muda yaitu usia mulai dewasa,
merupakan periode penting, peralihan, perubahan, usia bermasalah, mental yang labil, masa pencarian identitas (Soeparwoto,2005:62). Remaja
merupakan golongan usia yang kreatif sehingga ide-ide baru sering muncul dari mereka dan tidak mustahil membawa perubahan berarti dalam
masyarakat. Remaja sering disebut juga dengan ABG (anak baru gede), yakni golongan usia dimana mereka baru beranjak dari masa anak-anak yang masih labil dalam berpikir maupun bertindak sehingga usia remaja diartikan sebagai usia bermasalah. Pola pergaulan, lingkungan pergaulan banyak mempengaruhi kapribadian mereka setelah keluar dari lingkup keluarga yang sebelumnya cenderung dominan menguasai mereka. Kepribadian mereka bisa berubah karena media sosialisasi yang lebih berperan adalah sekolah dan teman sebaya, dimana mereka sedang berusaha untuk tampil maksimal dalam rangka mencari jati diri, identitas sekaligus bisa survive dan eksis di lingkungannya.
Kadang cara maupun pola pikr mereka cenderung kurang efektif untuk sekedar beradaptasi dengan lingkungan, hal ini disebabkan oleh kurang
stabilnya kondisi psikologis mereka sehingga mudah terpengaruh. Generasi muda yang dinamis banyak menciptakan inovasi agar dapat dilihat oleh masyarakat dan berbangga atas diri mereka sendiri. Saat mereka merasa bahwa kultur yang ada tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka untuk berekspresi, kreatif maupun aktualisasi diri dan mendapat penghargaan maka biasanya mereka berusaha melakukakn sesuatu yang beda, hal ini sering disebut dengan penyimpangan akan tetapi bersifat positif, karena cara pandang mereka terhadap sesuatu seperti kebutuahan berbeda dengan golongan tua.
Pemaknaan yang berbeda menimbulkan remaja sebagai bagian dari kaum muda merupakan sebuah subkultur yang mencoba eksis dengan paham antimainstream yang mereka ciptakan, mereka wujudkan dalam kehidupan bermasyarakat.
1. Sebagian besar konsumen Kaos Distro tersebut adalah usia sekolah yakni pada jenjang SMA. Pola pergaulan remaja lebih besifat biasa dalam arti
pengaruh keluarga dan budaya masih lekat. Kepribadian yang cenderung terbentuk memang banyak terpengaruh dari agen sosialisasi
yang bernama teman sebaya akan tetapi kepribadian dasar yang terbawa tetap sebagai pondasi mereka dalam beradaptasi dengan lingkungan.
2. Keadaan sosial ekonomi keluarganya cenderung menengah ke atas, karena produk original distro meskipun lebih murah dibandingkan
merk-merk branded, tetapi masih cukup mahal sehingga konsumen membutuhkan budget yang tidak sedikit, untuk memenuhi kebutuhan akan gaya hidup remaja.
3. Remaja konsumen memiliki pergaulan yang luas dan tidak gaptek, karena informasi yang berkembang banyak diperoleh dari pergaulan dan media.Gaya berbusana yang cenderung pada gaya hidup merupakan fenomena yang terbentuk melalui media dan pengaruh lingkungan. Seperti halnya penggunaaan produk distro, dari proses penelitian diperoleh bahwa remaja memperoleh informasi mengenai Kaos Distro style dari media cetak maupun elektronik dan teman. Seperti telah dijelaskan di atas menegenai karekteristik remaja konsumen Kaos Distro , berikut adalah gambaran remaja konsumen
Saat ini remaja menjadikan kebudayaan yang yang telah ada sebagai tolak ukur mereka hidup dalam masayarakat yang kian dinamis, akan tetapi tidak  begitu saja lepas dari kultur dominan yang mengatur mereka agar tidak mendapatkan sanksi sosial. Seperti halnya dalam gaya berpakaian mereka masih mempertimbangkan nilai-nilai kesopanan.
Keluarga adalah lingkungan pertama sebelum individu memasuki lingkungan yang lebih kompleks seperti teman sebaya, sekolah dan
masyarakat luas. Dalam keluarga biasanya diajarkan mengenai nilai social  yang mendasar diantaranya adalah agama, yakni pengetahuan mengenai hal hal yang bersifat keyakinan, baik dan buruk. Usia remaja adalah usia yang rawan karena pada tingkat usia ini individu dihadapkan pada banyak pilihan sebagai bentuk pencarian jati diri.
Gaya berbusana merupakan salah satu wujud remaja berekspresi, mereka mencoba menunjukkan identitas mereka, berbusana yang sesuai dengan kepribadian dan selera mereka. Akan tetapi yang menjadi permasalahan apakah yang mereka gunakan sesuai dengan kepantasan menurut nilai religious dan bagaimana keluarga khususnya orang tua sebagai pihak yang bertanggung jawab atas diri remaja memberikan masukan pada diri remaja dalam hal berbusana.
Dalam agama diajarkan berpakaian menutup aurat dan hal tersebut juga merupakan fungsi fisiologis berpakaian. Akan tetapi bagi remaja terdapat fungsi lain semacam pencitraan diri, lantas bagaimana keluarga memberi ruang terhadap remaja dalam hal berbusana yang layak. Seperti yang  diungkapkan oleh Nindya berikut ini :
“Biasanya Ibu mas yang cerewet kalau saya pakai baju yang aneh-aneh. Bajunya kekecilan lah, pakai baju kok kaya laki-laki. Ya emang si saya
pakai rok cuma waktu sekolah doank, kalau dirumah pakai celana pendek, kalau keluar atau pergi sama temen-temen paling pakai jeans
panjang mas. Orang tua sebenarnya bukan melarang cuma nasihatin aja, kamu kan dah gede harus bias jaga diri jangn sampe berpakaian yang
malu-maluin orang tua. Ya demokratis lah mas. Bapak si komentarnya paling soal uang aja kan saya seringnya minta uang sama bapak lebih enak mas dari pada ibu hehehe
Dalam kehidupan masyarakat kita hari besar agama terdapat perayaan  yang tidak menutup kemungkinan bahwa remaja juga banyak terlibat dalam acara tersebut, misalnya bagi kaum muslim bahwa idul fitri cenderung dengan busana yang baru. Untuk remaja mungkin saat itu mereka bias bergaya saat bertemu keluarga besar maupun teman-teman mereka. Lalu bagaimana mereka menyesuaikan pakaian mereka agar tetap gaya tetapi tidak menghilangkan esensi hari besar agama. Berikut pengungkapan Lusi : “Saya kan sudah bekerja jadi untuk masalah pakaian saya bisa beli sendiri, misalnya lebaran kemarin saya beli dua stel pakaian, busana muslim sama pakaian biasa mas. Kalau buat saya gak ada masalah kan busana muslim juga sudah keren-keren modelnya, tinggal pilih harganya sesuai uang kita. Tapi kalau saya gak pakai busana muslim, paling saya pakai lengan panjang terus pakai jilbab atau kerudung gitu aja, memang si kalau dalam aturan agama busana muslim yang benar bukan seperti itu tapi ya lumayan sopan lah gak malu-maluin. Kalau bawahan paling jeans panjang, nyaman lah. Orang tua gak da masalah kok, kan aurat tertutup, kalau keseharian saya biasa aja gak berjilbab, lebih sering pakai kaos pakai celana panjang” (
Busana merupakan bagian dari kehidupan remaja sebagai wujud  eksistensi diri mereka. Faktor orang tua tetap berpengaruh, misalnya Nindya yang selalu mendengarkan nasihat orang tuanya bahwa berpekaian adalah salah satu cara menjaga diri juga. Kemudian faktor religius juga berpengaruh, dimana lebaran yang identik dengan pakaian yang baru dialami oleh Lusi, dia selalu berusaha menyesuaikan gaya busananya yakni menurut selera dan acaranya. Misalnya saat idul fitri berbusana muslim modern lebih dipilihnya. Selera dan gaya hidup kaum muda tidak dapat dilihat secara terpisah dari proses sosialisasi yang dimulai pada usia muda. Gaya hidup modern sesungguhnya dimulai di rumah (Lofgren, 1993:10). Materialisasi hubungan orang tua-anak merupakan gejala yang mencolok. Proses ini menjelaskan banyak hal tentang transformasi dan formasi tata nilai dan gaya hidup. Perubahan antar generasi telah pula memberi pengaruh besar terhadap integrasi kebudayaan subjektif ke dalam kebudayaan objektif. Proses sosialisasi merupakan pengaruh besar dalam dinamika kehidupan remaja tidak terkecuali gaya hidup berbusana remaja, dimana ruang yang diberikan orana tua adalah faktor pendukung bagi remaja untuk mengkonsumsi fashion Kaos Distro menurut selera mereka. Peran orang tua tidak lagi mengarah pada hal subjektif seperti sikap anak yang mereka nasihati tapi lebih pada apa yang mereka kenakan seperti gaya berpakaian remaja yang mereka komentari.
  • Gaya berbusana/fashion style dalam lingkungan remaja
Usia remaja merupakan masa transisi yakni dari anak-anak menuju usia dewasa, biasanya remaja mencoba hal-hal baru dalam rangka pencarian jati diri. Sesuatu yang mereka lakukan banyak terpengaruh dari pergaulan mereka, teman sebaya sebagai agen sosialisasi mempunyai peran yang cukup besar dalam pembentukan kepribadian remaja. Masa transisi semacam ini biasanya menyebabkan remaja selalu ingin tampil agar tetap eksis dalam dunianya, dan salah satu yang mendukung hal tersebut adalah penampilan. Remaja memiliki tujuan lain dalam memenuhi kebutuhan akan sandang, tidak hanya sekedar fungsi fisiologis yakni melindungi mereka dari cuaca dan menutup aurat tetapi juga sebagai pencitraan diri sekaligus cara mereka mewujudkan selera yang mengarah pada kepribadian remaja.
Berbusana yang layak dengan orientasi menjadi fashionable merupakan tuntutan yang mereka ciptakan sendiri dengan pengaruh dari lingkungan pergaulan mereka. Disinilah akan muncul masalah bagi remaja Antara kepribadian, keluarga dan pergaulan. Seperti yang diungkapkan Cintya dalam wawancara berikut : “Kadang gitu mas dilema lah…ya aku pengen beli baju yang kaya temen aku tapi sebenernya buat aku kurang sreg, tapi karna lagi in ya aku jadi ikut-ikutan, terpengeruh gitu mas, belum lagi kalau ortu lagi seret buat ngasih uang, uh..pusing mas. Tapi selama ini si gak sampai ngelakuin hal buruk buat ngatasin masalah itu. Paling kalau mentok ya aku penjem uang atau kalau mepet ya tetep beli tapi yang lain, pinter-pinter kita alas an aja mas, yang penting kan gak mati gaya sama temen-temen. Kalau komentar biasa aja, kan temen-temenku gak elit-elit amat jadi selektif aja milih temen biar gak masuk tempat yang salah mas kan repot”
Pernyataan Cintya berbeda dengan Didik, bahwa laki-laki tidak begitu terpengaruh lingkungan pergaulan dalam masalah busana, karena terdapat hal lain yang lebih mempengaruhi remaja laki-laki untuk mengkonsumsi sesuatu, seperti terangkum dalam wawancara berikut ini :
“….bukan gak mikirin baju mas, tapi kalau beli baju karena iri sama temen buat saya gak si. Saya malah lebih ke motor cepet panasnya kalau
ada temen yang abis modif apa gitu…oh, iya kembeli soal pakaian saya beli baju si Kaos Distro kalau emang ada yang keren, istilahnya bikin saya wah
pengen beli itu pokoknya, jelas masalah selera jadi gak terpengeruh gitu, paling kalau temen ya buat tempat tanya harga aja atau beli baju kaya gini dimana ya, gitu tok si mas. Sehari-hari ya casual aja, simple pokoknya nyaman n gak wagu. Ngomongin keren tergantung orangnya si,hehe…(wawancara dengan Didik tanggal 5 Februari 2010)
Dari pernyataan tersebut menandakan bahwa lingkungan pergaulan lebih berpengaruh pada remaja putri mengenai gaya hidup berbusana, sedangkan laki-laki lebih memilih pakaian yang nyaman tetapi juga tidak mengesampingkan fashionable, karena tetap ada tujuan bahwa remaja ingin eksis dalam lingkungan pergaulannya.
Sedangkan bicara tentang fashionable dan tampil beda berikut hasil wawancara dengan Endita : “…yang saya tahu fashionable ya berbusana yang keren tapi cocok buat yang pakai juga, jadi bukan hanya bajunya yang wah ditambah up to date tapi gak pas buat yang pakai ya malah gak jadi bagus, menurut saya seperti itu. Walaupun saya agak tomboy tapi saya bisa tampil fashionable karena baju-baju atau Kaos Distro yang saya pilih juga menyesuaikan dengan kepribadian saya gak asal bagus tapi malah malu-maluin dipakai. Tampil beda ya paling kalau jalan gitu sama temen sama cowoku atau acara-acara anak muda, pokoknya yang ketemu banya orang biar enak dilihat. Ikuti mode gak si bisa tekor, nanti aja kalau dah kerja” (wawancara dengan Endita tanggal 5 Februari 2010)
Berbusana yang fashionable ataupun tampil beda menuntut ketepatan memilih agar sesuai dengan diri remaja dan kepribadiannya, seperti yang di ungkapkan Endita di atas karena tujuan awal adalah eksistensi remaja yang salah satunya melalui penampilan. Suka berkumpul, dalam falsafah orang Jawa ”mangan ora mangan asal kumpul”. Hal ini juga merupakan sarana promosi yang efektif melalui komunitas, relasi, dari mulut ke mulut (Irawan, Handi 2008). Hal tersebut berkaitan dengan etika berbusana dalam pergaulan remaja, bahwa pengaruh lingkungan pergaulan yaitu komunitas remaja merupakan sarana promosi tersendiri yang tidak terencana dari suatu usaha fashion termasuk distro.
Selain itu kuatnya subkultur juga yaitu dalam hal ini remaja konsumen distro merupakan sebuah subkultur dalam dunia fashion yakni menggunakan produk-produk dari merk antimainstream, juga dapat menciptakan selera baru yang kemudian menjadi mass taste khususnya bagi remaja.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap remaja  diperoleh kesimpulan :
1. Makna Kaos Distro bagi remaja adalah sebagai penanda remaja gaul, sehingga remaja menggunakan produk distro sebagai representasi
bahwa mereka adalah bagian dari yang disebut anak gaul. Distro juga dimaknai oleh remaja sebagai simbol modernitas khususnya dalam
fashion. Sehingga remaja merasa menjadi bagian modernitas dengan menggunakan produk Kaos distro. Konsumsi produk Kaos distro bukan sekedar memenuhi kebutuhan sandang tetapi mengarah pada gaya hidup.
2. Wujud eksistensi diri remaja melalui penggunaan produk distro terlihat dari tujuan penggunaanya yaitu mewujudkan image remaja gaul yang
fashionable, sehingga remaja merasa eksis dalam dunianya. Keberadaan komunitas remaja yang mengidentifikasi dirinya melalui penggunaan produk distro, misalnya Skater club, yaitu komunitas remaja yang menggunakan produk Kaos distro bermerk Skater.
3. Nilai-nilai dalam kultur dominan yang mempengaruhi gaya hidup berbusana adalah, nilai adat istiadat yang berkaitan dengan kultur Jawa
yang remaja terapkan dalam pergaulan dan berbusana. Nilai dalam keluarga dan agama yang menjadi tolak ukur dalam gaya berbusana
remaja, penilaian orang tua tidak hanya subjektif tetapi juga objektif,seperti gaya berpakaian remaja. Lingkungan pergaulan sebagai
salah satu agen sosialisasi memiliki peranan besar dalam membentuk gaya hidup remaja termasuk dalam berbusana. Hal-hal tersebut menandakan bahwa budaya lokal masih dipertahankan remaja dalam kehidupannya, seperti kesopanan dalam pergaulan dan berbusana,
kepantasan menurut agama dan penilaian orang tua serta lingkungan pergaulan yang terbentuk dalam masyarakat yang memiliki kultur
Sumber Google
Post a Comment (0)
Previous Post Next Post