Inovasi Kultur Jaringan Aglaonema

KULTUR JARINGAN : Semua berawal 14 tahun silam di ruang sempit 2 m x 3 m yang berisi autoclave, laminar, dan botol kultur di rak setinggi 2 m. Di salah satu laboratorium kultur jaringan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, itu Edhi menatap 17 bahan media Murashige dan Skooge (MS) dengan wajah bingung. ‘Harga bahan media MS saja sudah Rp15- juta, belum biaya lainnya,’ kata kepala unit kultur jaringan di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB, itu. Padahal, ketika itu dana yang dimiliki sangat minim.
Ketika itu media MS harus diracik sendiri, belum ada yang dijual dalam bentuk jadi. Untuk membuat media MS 1 liter, mestinya hanya butuh 0,25 mg sodium molybdate, Na2MoO4. Apesnya, bahan itu tak bisa dibeli eceran. Edhi mesti membeli kemasan paling kecil isi 100 g. Harganya Rp690.000. Hormon Thidiazuron 100 mg harganya Rp1,7-juta. Padahal, pemakaian cuma 0,005-0,2 mg/l. CoCl2 25 g Rp1,3-juta, pemakaiannya hanya 0,025 mg/l.
Kegundahan Edhi sirna setelah bertemu mendiang Prof M Yahya Fakuara, guru besar di Fakultas Kehutanan, IPB. ‘Jangan menyerah, gunakan plasma nutfah yang banyak di Indonesia. Jangan mengekor terus dengan teknologi Barat,’ ujar Edhi mengulangi ucapan Yahya. Kata-kata pria yang meraih gelar doktor di University of The Philippines itu membuat pikiran Edhi mengkristal. Ingatannya melayang ke masa kuliah tingkat satu dulu.
Air kelapa
Di tingkat pertama kuliah, 1984, Edhi gemar mengoleksi anggrek. Di dunia anggrek itulah Edhi mengenal air kelapa. Para penganggrek senior yang tak mengenal ilmu pertanian kerap menggunakan air kelapa sebagai campuran media penumbuh biji anggrek dalam botol. Edhi lantas membuka-buka literatur mengenai air kelapa. Ia menemukan air kelapa kaya potasium atau kalium hingga 17%. Dengan kalium tinggi itu, air kelapa merangsang pembungaan anggrek dendrobium dan phalaenopsis. Mineral lain seperti natrium (Na), kalsium (Ca), magnesium (Mg), ferum (Fe), cuprum (Cu), fosfor (P), dan sulfur (S) ada dalam air kelapa.
Air kelapa juga kelompok hormon alami: auksin dan sitokinin. Dalam kultur jaringan auksin berperan memicu terbentuknya kalus, menghambat kerja sitokinin membentuk klorofil dalam kalus, mendorong proses morfogenesis kalus, membentuk akar, dan mendorong proses embriogenesis. Sedangkan sitokinin merangsang pembelahan sel, proliferasi meristem ujung, menghambat pembentukan akar, dan mendorong pembentukan klorofil pada kalus.
Sayang, Edhi tak bisa langsung memakai air kelapa sebagai media kultur jaringan. ‘Komposisi untuk media anggrek dan kultur jaringan berbeda,’ ujar Sarjana Biologi, IPB, itu. Beragam volume air kelapa mulai dari 150 ml, 200 ml, 250 ml, hingga 500 ml per liter media kultur diuji kecocokannya. Empat bulan berselang Edhi mendapat takaran yang pas, 150 ml air kelapa/l media.
Usai meneliti komposisi air kelapa yang pas, Edhi mencari bahan pemasok unsur hara. Lazimnya pada kultur jaringan dipakai bahan proanalis alias senyawa murni. Misalnya KNO3 murni. ‘Karena murni, maka harganya mahal,’ kata ahli fisiologi tanaman itu. Ia lalu mengganti sumber unsur hara dari proanalis dengan teknis (kemurnian rendah, red) yang murah. Misalnya KNO3 murni yang harganya Rp900.000/100 g diganti pupuk NPK yang mudah diperoleh di toko pertanian. Harganya di bawah Rp50.000.
Sayur dari dapur
Namun, itu saja belum cukup, ada 6 penyusun media kultur yang wajib dipenuhi: unsur makro dan mikro, vitamin, sumber energi, bahan organik seperti asam amino dan asam lemak, pemadat, serta hormon. Lagi-lagi demi menghemat biaya Edhi menggunakan pisang ambon sebagai sumber energi di media kuljar. Itu karena anggota famili Musaceae itu mengandung karbohidrat yang berenergi tinggi. Dalam 100 gram berat kering pisang mengandung energi 136 kalori.
Edhi juga menggunakan sayuran taoge dan buncis yang biasa dimasak sang istri sebagai campuran bahan media. Yang disebut pertama mengandung antioksidan, vitamin E, kanavanin-jenis asam amino-, dan hormon auksin. Sementara buncis mengandung protein, karbohidrat, vitamin, serat kasar, dan mineral. Namun, yang paling penting diambil dari buncis adalah sitokinin yang bisa memacu pertumbuhan tunas.
Akhirnya setelah 10 tahun meneliti, Edhi menemukan takaran ideal bahan organik untuk media kultur jaringan. Ia pun membangun laboratorium di rumah tinggalnya di Taman Cimanggu, Bogor.
Sayang, semuanya tak berjalan mulus. Kalus dalam botol kaca mengalami kontaminasi hingga 40-60%. Anehnya terjadi 1-2 bulan setelah eksplan dimasukkan ke dalam botol. ‘Yang parah kontaminasi bisa sampai 80% jika mati lampu,’ kata Ir Hapsiati, sang istri. Maklum, laboratorium di rumah Edhi tak secanggih perusahaan besar. Di perusahaan modern kultur jaringan dilakukan di ruang steril. Pelakunya memakai pakaian khusus. Suhu ruang inkubasi tempat penyimpanan kultur pun stabil, 20oC, lantaran ber-AC. Di tempat Edhi, ruang inkubasi dekat dengan dapur dan tak berpendingin.
Karet gelang
Ayah 3 anak itu lebih berhati-hati mensterilisasi eksplan, botol, dan media. Namun, betapa keras ia jaga kebersihan, bakteri selalu datang. Sampai suatu ketika, awal 2008, pria bertubuh gempal itu terkejut melihat 3 botol berisi eksplan di ruang terbuka di lantai 2 rumahnya malah tumbuh subur. ‘Di sana mereka kehujanan dan kepanasan selama sebulan, tapi tak terkontaminasi bakteri sedikit pun,’ ujar master ilmu pengetahuan kehutanan, IPB, itu. Usut punya usut penutup botol berbeda dengan yang lain. Tutup plastik dobel 3 dengan 30 karet gelang.
Biasanya hanya satu lapis plastik dan diikat 2 karet gelang untuk botol yang ditaruh dalam ruang inkubasi. Rupanya ketika itu Edhi ingin menguatkan tanaman kultur sebelum dikeluarkan dari botol alias hardening. Plastik transparan yang digunakan untuk menutup botol digandakan 3 kali dan ikat dikencangkan dengan 30 karet gelang.
Dari kasus itu Edhi menduga sumber masalah terletak pada kerapatan penutup botol. Ternyata benar, selapis tutup plastik tak bisa menahan tekanan dari luar yang besar. Karet gelang pun memuai jika terkena panas sehingga 2 karet tak cukup kencang. Bila memuai, ikatan kendor. Bakteri pun masuk dan beranak-pinak dalam botol yang kaya hara.
Edhi lalu menambah lapisan plastik penutup botol dan karet gelang. Mulai dari 6, 8, dan seterusnya hingga akhirnya didapat yang benar-benar ideal. Kini ia menggunakan 5 lapis plastik transparan dan 50 karet. Hasilnya, tak ada lagi eksplan yang terkontaminasi meski kucing kesayangan Edhi kerap beristirahat di antara botol-botol berisi eksplan.
Patahkan mitos
Penelitian Edhi mematahkan mitos teknik kultur jaringan berbiaya mahal dan sulit. Dengan cara Edhi yang organik, biaya produksi hanya Rp400/tanaman. Sementara dengan MS dan bahan-bahan murni Rp1.000/tanaman.
Menurut Edhi, semua jenis tanaman dapat diperbanyak dengan metode ini. Edhi telah berhasil mengkultur nepenthes, aglaonema, dan anggrek. Itu terlihat di ruang inkubasi seluas 2 m x 3 m. Di sana botol-botol berisi eksplan Nepenthes rafflesiana, aglaonema tiara dan widuri, philodendron, serta jati berbaris rapi di rak besi 3 tingkat.
Bila jumlah tanaman telah memenuhi kuota, misal 1.000 tanaman, Edhi mengeluarkan dari botol dan menanamnya secara berkelompok dalam pot bermedia campuran sekam bakar dan cocopeat. Maka tanaman hasil kultur jaringan dari dapur siap dipasarkan. (Rosy Nur Apriyanti)
Post a Comment (0)
Previous Post Next Post